Salin Artikel

Ayah Aktivis 98 Petrus Bima Anugrah: Kalau Dia Dipanggil Tuhan, Selamat Jalan Anakku...

MALANG, KOMPAS.com - Nasib salah satu aktivis 98 yang hilang, Petrus Bima Anugrah, masih belum jelas.

Bimo, sapaan akrabnya, dinyatakan hilang pada 30 Maret 1998 atau 25 tahun lalu dan hingga kini belum diketahui keberadannya.

Ayah Bimo, Dionysius Utomo Raharjo (78) mengaku sudah ikhlas dan pasrah dengan nasib anak sulungnya itu. Bimo yang lahir di Malang, 24 September 1973, hilang ketika berusia 24 tahun.

Dia percaya bahwa Bimo sudah meninggal pasca-peristiwa 1998. Harapan orangtua melihat anaknya kembali pulang sudah tipis.

"Jangan terlalu berharap dia (Bimo) pulang, kalau dia dipanggil oleh Tuhan, ya sudahlah selamat jalan anakku. Keyakinan saya sebagai orang Kristen Katolik, Bimo sudah dijemput oleh Tuhan Yesus sampai di surganya sana bersama ibunya yang lima tahun lalu meninggal dunia," kata Utomo saat ditemui Kompas.com, Jumat (5/5/2023).

Utomo hingga saat ini belum menerima kabar keberadaan Bimo. Namun, dia percaya terhadap pernyataan mantan Danjen Kopassus Agum Gumelar yang diduga kuat mengetahui hilangnya para aktivis 98.

Kepada Kompas.com, Utomo memperlihatkan video berdurasi 2 menit 56 detik dari ponselnya yang berisi pernyataan Agum Gumelar dalam sebuah diskusi. Video itu sudah disimpannya sejak 2019 lalu.

Sebagai informasi, Agum Gumelar pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 1998 untuk mengusut kasus penculikan para aktivis. Diduga, Tim Mawar dari Kopassus sebagai pihak yang bertanggung jawab.

"Dia (Bimo) sudah dihabisi, sudah dibantai, kasar sekali itu, ini yang ngomong jenderal (Agum Gumelar), enggak mungkin jenderal ini ngomong asal-asalan, saya percaya," kata Utomo saat ditemui di rumahnya, Jalan R Tumenggung Suryo Gang 2 Nomor 20, Kota Malang, Jawa Timur.

Kepada pemerintah, Utomo berharap adanya bentuk permintaan maaf dan dapat mengungkap keberadaan anaknya beserta aktivis lain. Ia meminta keadilan.

Meski begitu, dia mengapresiasi pernyataan Presiden Jokowi pada awal tahun 2023 yang menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. Salah satunya, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

"Jokowi sudah mengeluarkan Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia, seperti pemulihan hak korban dan keluarganya. Juga mengumumkan soal itu (penyesalan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat), dalam hal ini pemerintah, dalam berbagai kasus, seperti kasus Semanggi 1 dan 2, 65," katanya.

Awal Bimo menghilang

Bimo merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Seingat Utomo, anaknya itu pamit terakhir kali dari rumah antara tahun 1996 - 1997 untuk ke Jakarta.

Bimo sempat dicegah oleh ibunya, (alm) Genoneva Misiatini ketika hendak pergi dari rumah karena tahu menjadi aktivis.

"Dia pamit untuk ke Jakarta, pamit sama ibu dan bapak, dicegah sama ibu 'ojok to le' tapi dia bilang 'sudah saatnya bu'. Ibunya nangis waktu itu ngeculno anake, bapak waktu itu merestui 'yoweslah kalau itu pilihanmu baik dan benar, jernih'," ungkapnya dengan raut wajah berkaca-kaca mengenang masa lalu.

Utomo sebenarnya satu pemikiran dengan Bimo dan setuju perjuangan yang dilakukan anaknya itu.

Sebelum ke Jakarta, dia sudah memberi pesan kepada Bimo bahwa perlawanan terhadap rezim Presiden Soeharto diibaratkan seperti melawan tembok baja.

Tercatat, Bimo selama berjuang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

"Waktu di Surabaya (sebelum ke Jakarta) itu dibawakan majalah retorika Unair, paling senang aku, jadi bapak sejalan dengan pemikirannya Bimo, jadi tahu persis garis perjuangannya. Dia bilang di Jakarta ada 50 anak PRD, saya tanya 'kamu mampu?' di situ kamu menghadapi tembok yang tebal dan tulangnya baja, dia senyum bilang 'paling enggak aku yang menabrak (tembok itu)'," katanya.

Utomo tidak menyalahkan siapa-siapa atas hilangnya Bimo. Dia menganggap bahwa peristiwa yang ada merupakan risiko yang diterima oleh Bimo sebagai aktivis.

Pria pensiunan pegawai RSJ Lawang, Malang, itu juga ingat betul bagaimana perkataan anaknya untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia.

"Sejak awal menyikapi ini hal yang biasa-biasa saja, tidak pernah saya untuk mengeluh atau menyalahkan orang lain, tidak, karena tahu persis garis perjuangan Bimo seperti itu, dan risikonya 4 B disampaikan kepada bapak, 'buruh, bui, buang dan bunuh', saya sebagai orangtua 'wuih'," katanya.

Utomo mengungkapkan, sangat bangga atas perjuangan Bimo. Tercatat, Bimo juga pernah kuliah di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya dan sebelum hilang berstatus sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

"Dalam hal ini bapak bangga terhadap Bimo, diakui atau tidak enggak penting, yang jelas Bimo memberikan kontribusi bagi perjuangan demokrasi di Indonesia. Kalau tahu pidatonya saat di Surabaya betul-betul pemicu pergerakan demokrasi," katanya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/05/06/050100778/ayah-aktivis-98-petrus-bima-anugrah-kalau-dia-dipanggil-tuhan-selamat-jalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke