Ki Ageng Kutu kemudian mendirikan padepokan Surukubeng yang mengajarkan ilmu kanuragan dengan permainan barongan.
Sayangnya Raja Brawijaya V justru menganggap Ki Ageng Kutu tak mau lagi mengikuti titahnya dan berkhianat.
Kemudian diutuslah Raden Katong untuk menyerang padepokan itu dan berakhir dengan kekalahan Ki Ageng Kutu.
Sebagai imbalan, Raja Brawijaya V memberikan Raden Katong tanah perdikan di Wengker.
Reog atau Reyog disebut berasal dari kata Riyokun yang berarti khusnul khotimah yang diambil dari cerita perjuangan Raden Katong mengalahkan Ki Ageng Kutu.
Hal ini tak jauh dari makna tari tradisional ini yang mengisahkan tentang peperangan.
Namun ada juga yang mengartikan tarian ini sebagai sindiran Ki Ageng Kutu kepada Raja Brawijaya V yang tunduk kepada istrinya.
Raja Brawijaya V diibaratkan sebagai seekor macan yang ditunggangi oleh merak, sementara para pasukan majapahit dilambangkan oleh penari jathil dengan kuda-kudanya.
Sementara Ki Ageng Kutu digambarkan sebagai warok yang berniat melindungi tanpa pamrih.
Karena adanya kisah percintaan, terkadang dimunculkan pula sosok Kelana Sewandana dengan patihnya Bujang Ganong.
Kisah percintaan ini biasa dimainkan apabila pertunjukkan Reog Ponorogo diadakan dalam acara pernikahan.
Tari Reog Ponorogo dimainkan dengan iringan gamelan dan lagu-lagu tradisional.
Oleh karenanya, biasanya dalam iringan tari ada dua kelompok yaitu pemain gamelan dan penyanyi.
Sementara itu properti tari yang digunakan juga dibedakan untuk tiap penari.
Penari barongan menggunakan kostum ditambah topeng Singo Barong dan dadak merak,