Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tuas" Ingatan yang Tersisa

Kompas.com, 20 November 2011, 21:37 WIB

Setelah bertahan puluhan tahun, awal 1970-an, tubuh kapal mulai rusak. Bukan oleh tsunami atau cuaca, melainkan karena dipereteli. Warga pendatang, yang kebanyakan dari Jawa, melihat kapal itu mengganggu aliran sungai lalu memereteli dan menjual bagian-bagiannya.

"Saya pernah menjual baut dan lempengan besi dari kapal itu. Beratnya 130 kilogram," kata Suwardi. Ia juga pernah menemukan balok kayu kapal yang sudah membatu, yang kemudian diminta Pemerintah Provinsi Lampung.

Pada tahun 1979, menurut Suwardi, kapal yang telah dipereteli ini dihanyutkan banjir bandang hingga ke bawah jembatan di Desa Olok Gading. Di lokasi inilah nasib kapal perang ini tamat. "Warga berebut memereteli sisa tubuh kapal dan menjualnya," kata Imron (56), warga Olok Gading.

Pemerintah melupakan kapal ini dan tutup mata terhadap perusakan itu. Namun, peneliti dan turis asing, terutama dari Belanda, sering berkunjung ke sana melihat sisa-sisa Kapal Berouw atau sekadar melihat bekas lokasi terdamparnya.

Setelah tubuh Kapal Berouw habis, barulah Suwardi dan warga desa yang lain mulai menyadari pentingnya Kapal Berouw dalam sejarah. Pemerintah Provinsi Lampung meratapi hilangnya Berouw. Mereka kini berancang-ancang membangun tiruan kapal. "Kami berharap replika ini akan menjadi ikon baru Lampung untuk memajukan pariwisata," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Gatot Hadi. Namun, pembuatan replika tak mudah. "Kami pelajari dulu bentuk kapalnya dulu seperti apa," katanya.

Merawat ingatan

Kapal Berouw hanyalah satu drama kecil dibandingkan dengan kedahsyatan letusan Krakatau pada 1883. Tsunami yang terjadi setelah keluarnya awan panas dari Krakatau menghancurkan pesisir Banten dan Lampung. Setidaknya 36.417 orang tewas dan 163 desa hancur.

Jejak petaka itu dikisahkan samar-samar oleh Ratu Supiah (90), warga Caringin, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dengan suara pelan dan terpatah-patah dia bercerita. "Waktu itu langit tiba-tiba gelap. Air laut mendadak surut," kata Supiah, menirukan cerita kakeknya, Sheikh Asnawi. "Kakek yang curiga dengan keanehan itu mengajak tetangga dan keluarga lari ke tempat lebih tinggi. Namun, mereka tak mau pergi. Tetangganya tergiur melihat banyak ikan di pantai."

Tiba-tiba air laut datang menggulung hingga 4 kilometer ke daratan. Asnawi memandu keluarganya lari ke Menes, Desa Muruy. Setelah petaka reda, Asnawi kembali ke kampungnya yang rata dengan tanah dan dipenuhi mayat. Nyaris semua warga desa meninggal. "Asnawi mengajarkan kepada keturunannya untuk selalu waspada jika Krakatau meletus, terutama jika laut surut karena pasti akan ada gelombang besar," tutur Supiah.

Namun, petuah dan kisah dari Asnawi tak banyak diketahui lagi. Putra Supiah, HRA Syaukatuddin Inayah, mengatakan, generasi muda tak banyak lagi yang peduli. Bahkan, Syaukatuddin juga hanya tahu sedikit kisah Krakatau. Dia harus memanggil ibunya yang sudah sepuh itu untuk mengisahkan gelombang raksasa yang pernah menghancurkan desanya itu.

Sebagaimana Kapal Berouw habis dipereteli, ingatan warga tentang petaka yang diwariskan secara lisan oleh para tetua itu pun memudar. Pudarnya ingatan berarti hilangnya pula kewaspadaan terhadap Anak Krakatau yang tengah membangun kembali kekuatan.

Kini, Suwardi hanya bisa menyesali hilangnya Kapal Berouw, kapal "penyesalan" itu, dengan mempertahankan dua tuas yang tersisa....(Yulvianus Harjono/Cyprianus Anto Saptowahyono)

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:
Baca tentang


    Terkini Lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
    QR Code Kompas.com
    Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Komentar di Artikel Lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Apresiasi Spesial
    Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
    Kolom ini tidak boleh kosong.
    Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
    Apresiasi Spesial
    Syarat dan ketentuan
    1. Definisi
      • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
      • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
    2. Penggunaan kontribusi
      • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
      • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
    3. Pesan & Komentar
      • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
      • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
      • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
    4. Hak & Batasan
      • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
      • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
      • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
    5. Privasi & Data
      • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
      • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
    6. Pernyataan
      • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
    7. Batasan tanggung jawab
      • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
      • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
    Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
    Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
    Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
    Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau