Salin Artikel

Bukan Dibekukan, Izin Operasional Pesantren Shiddiqiyyah Jombang Dicabut, Ini Penjelasan Lengkapnya

Dasar pencabutan izin operasional pondok pesantren tersebut telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Dalam Pasal 2 UU tersebut, terdapat azas pesantren yang dikenal dengan istilah Ruhul Ma'had yang di dalamnya terdapat azas kemaslahatan.

Kabid Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Jatim As'adul Anam mengatakan, dari azas kemaslahatan ini, bila dilihat dari kasus pencabulan oleh anak kiai, maka kemaslahatan, kemanfaatan, perbuatan baik dari pesantren itu telah hilang.

"Oleh karena itu, sudah layak kalau kemudian izin operasional pondok pesantren (Shiddiqiyyah) itu dicabut. Jadi bukan dibekukan, tapi dicabut," kata Anam saat dihubungi Kompas.com, Jumat (8/7/2022).

Nasib santri

Dengan pencabutan izin operasional Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, secara otomatis seluruh proses operasionalnya dihentikan dan tak lagi berhak menerima bantuan pendanaan pendidikan maupun infrastruktur dan sebagainya.

"Saat ini gimana, apa semua santri sudah pulang? Ya belum, karena saat ini kan masih dalam masa liburan," ujar Anam.

Ia menjelaskan, pencabutan izin oleh Kemenag itu sudah dikeluarkan pada Kamis (7/7/2022).

Namun, SK pencabutan izin baru akan diserahkan ke pihak ponpes pada Senin (11/7/2022).

"Kalau dari pemberitaan, pencabutan izin pondok pesantren itu kan kemarin. Insyaallah nanti Senin, SK pencabutan izin operasionalnya akan diantar ke sana (Jombang)," ucap Anam.

Menyikapi kejadian pencabulan di ponpes itu, menurutnya, hal tersebut merupakan kejadian luar biasa yang sangat tidak patut.

Terlebih lagi, hal itu terjadi sebuah lembaga pendidikan islam yang berstatus pondok pesantren.

"Tentu kami sangat sangat menyayangkan dengan kejadian ini. Dan yang lebih disayangkan lagi, kenapa tidak kooperatif untuk kemudian mengikuti proses penyidikan dan sebagainya," kata dia.

"Kenapa sih, kalau mengaku tidak salah kok tidak kooperatif?" lanjut dia.

Pindah pesantren

Anam menyampaikan kepada para orangtua untuk tidak ragu ketika putra-putrinya ingin mengeyam pendidikan di pesantren.

Sebab, perilaku yang dilakukan tersangka kasus pencabulan di Pesantren Shiddiqiyyah itu tidak mencerminkan identitas pesantren.

"Artinya begini, bahwa perilaku ini bukanlah identitas pesantren. Ini adalah oknum pesantren yang merusak sistem di pesantren. Oleh karena itu, orangtua tidak perlu ragu dengan pendidikan di pesantren," kata dia.

Selain itu, ia juga menyarankan kepada para orantua yang menitipkan anaknya di Pesantren Shiddiqiyyah dalam rangka menempuh pendidikan Islam agar segera dipindah ke pesantren lainnya.

Sebab, dengan pencabutan izin operasional pondok pesantren tersebut, sudah tidak ada lagi aktivitas Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) di lingkungan Pesantren Shiddiqiyyah, mulai jenjang Ula (MI/SD), Wustho (SMP), dan Ulya (SMA).

"Kalau orangtua ingin memindahkan anaknya ke ponpes yang lain kita persilakan, karena pada prinsipnya sudah tidak ada PKPPS lagi," tutur dia.

998 santri dan santriwati

Jumlah santri yang mengeyam pendidikan di Pesantren Shiddiqiyyah itu secara keseluruhan berjumlah 998 santri dan santriwati.

Rinciannya, untuk jenjang Ula (SD), santri laki-laki 169 orang dan perempuan 140 orang. Secara keseluruhan, jumlah santri dan santriwati jenjang Ula berjumlah 309 orang.

Kemudian, untuk tingkat Wustho, santrinya berjumlah 244 orang dan santriwati 221 orang. Sehingga keseluruhannya ada 465 orang.

Adapun umtuk tingkat Ulya atau SMA, jumlah santri ada 128 oramg dan santriwati 96 orang. Sehingga keseluruhan santi dan santriwati di jenjang Ulya ada 224 orang.

"Jumlah keseluruhan santri dan santriwati di sana ada 998 orang yang tercatat di sitem online kami. Sementara di sana, santri keseluruhan tercatat 1.041. Ada selisih 43, itu bisa jadi karena ada prinsip multi entry dan multi exit. Artinya, mereka bisa jadi keluar dan masuk setiap saat, disesuaikan dengan keinginan santri," tutur dia.

Dalam laman website Kemenag, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono juga memastikan bahwa izin operasional pesantren Shiddiqiyah telah dicabut.

"Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” tegas Waryono.

Tindakan tegas ini diambil karena MSA merupakan DPO kepolisian dalam kasus pencabulan dan perundungan terhadap santri.

Pihak pesantren juga dinilai menghalang-halangi proses hukum terhadap yang bersangkutan.

Diberitakan sebelumnya, anak kiai di Jombang, berinisial MSA atau MSAT (42), ditetapkan menjadi tersangka kasus pencabulan terhadap santriwati di pesantren milik orangtuanya.

Anak kiai itu pertama kali dilaporkan ke polisi pada 29 Oktober 2019 oleh korban berinisial NA, salah seorang santri perempuan asal Jawa Tengah.

Usai menetapkan MSA sebagai tersangka, polisi selalu gagal menangkap karena dihalangi massa pesantren.

Polda Jatim pun menetapkan MSA sebagai DPO dan memintanya menyerahkan diri.

Hingga akhirnya MSA menyerahkan diri usai polisi mengepung kediamannya selama lebih dari 15 jam pada 7 Juli 2022. 

https://surabaya.kompas.com/read/2022/07/08/165039778/bukan-dibekukan-izin-operasional-pesantren-shiddiqiyyah-jombang-dicabut-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke