SURABAYA, KOMPAS.com - Penerapan pembayaran royalti lagu yang dilakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LKMN) mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjadi kontroversi.
Salah satu pihak yang terdampak adalah hotel dan resto.
Bahkan mereka sudah mendapat tagihan bayar royalti lagu sejak 2 tahun belakangan.
“Sebetulnya sudah 2 tahun ini sudah masuk (tagihan). Tapi tertentu saja, seperti bintang 5, sekarang semuanya,” kata Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono, Rabu (20/8/2025).
Baca juga: Takut Kena Royalti, Pemilik Mie Ashuk Singkawang Pilih Putar Lagu Sendiri
Kini, yang terdampak tagihan royalti bukan hanya hotel bintang 5 tetapi juga bintang 3 dan 4 di Malang, Batu, Surabaya, hingga Banyuwangi.
“Sekarang hampir 50 persen lebih hotel dan resto terdampak. Restoran tergambar paling besar terus lobby di Family Hotel dan Business Hotel yang punya kafe,” ucapnya.
Sebelum mendapat tagihan royalti, hotel dan resto di Jawa Timur tidak pernah mendapat sosialisasi dari LKMN sehingga menimbulkan kebingungan.
“Sampai sekarang belum pernah ketemu terus sosialisasi. Minggu-minggu ini kami undang karena kebingungan masing-masing hotel dan resto,” ujarnya.
Baca juga: Polemik Royalti Musik: Ari Lasso Ungkap Dapat Rp 497.300, WAMI Jawab dengan Data dan Siap Diaudit
Dwi menjelaskan, penagihan royalti lagu ke hotel dan resto selama ini tidak transparan.
Mulai dari pihak penagih, perhitungan, dan distribusinya masih belum jelas.
“Sebetulnya mereka (penagih royalti lagu) juga kalau saya pernah diskusi itu tidak terlalu paham-paham sekali gitu tentang PP dan Undang-Undang ini,” terang Dwi.
Untuk mengantisipasi pembayaran royalti lagu, maka pihak hotel dan resto di Jawa Timur saat ini memilih tidak memutar musik selama penerapan aturan belum jelas
“Bukan berarti kita tidak mau bayar lho, kita mau menghargai karya ciptaan bangsa atau luar negeri atau siapapun. Tapi dengan aturan yang benar dan tidak memberatkan,” tegaskan.
Baca juga: Kala Royalti Lagu Bikin Bus Terasa Sunyi...
Sebab, dampak dari adanya pembayan royalti lagu ini hotel dan resto kerap mendapat komplain dari pelanggan karena suasana tempat yang dinilai sepi tanpa musik.
Selain itu, hotel dan resto juga turut terdampak efisiensi anggaran.
Maka dari itu, PHRI Jatim mendesak pemerintah untuk segera merevisi UU tentang hak cipta agar penerapannya bisa dijalankan secara transparan dan adil.
“Kita mendesak bersama-sama, PHRI Indonesia kepada pemerintah untuk merevisi UU dan PP tentang karya hak cipta. Dikaji ulang cara penagihannya sampai distribusinya,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang