MALANG, KOMPAS.com - Pakar kebijakan publik dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Malang, Alie Zainal memberi catatan atas dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Bersama Gubernur Jawa Timur, Kapolda Jawa Timur, dan Pangdam V/Brawijaya terkait pengaturan penggunaan sound system yang akrab disebut sound horeg.
Alie menilai, SE itu belum mencerminkan kondisi nyata di lapangan, dan masih menyisakan banyak ketidakjelasan dalam implementasinya.
“SE ini bukan evidence based policy. Sebab kebijakan ini tidak menjadikan data atau fakta kejadian yang dialami masyarakat, sebagai dasar pengambilan kebijakan,” kata Alie, Selasa (12/8/2025).
Baca juga: Pengusung Fatwa Haram di Pasuruan Kecewa, SE Pemprov Jatim Seolah Jadi Legalisasi Sound Horeg
Hal itu, menurut Alie tercermin salah satunya pada poin peraturan batas volume 120 desibel.
Padahal, berdasarkan ahli THT, ambang batas aman bagi kekuatan volume bagi masyarakat adalah 80 desibel.
Selain itu, pihaknya juga menilai SE tersebut cenderung hanya mengulang peraturan yang sudah ada sebelumnya.
Seperti aturan seperti uji KIR kendaraan, larangan penggunaan narkoba, dan lain sebagainya yang dicantumkan kembali dalam SE, tanpa ada kebijakan baru yang lebih penting disertakan.
“Kalau hanya untuk mengingatkan kembali, boleh saja. Tapi saya kira kurang efisien. Pemerintah perlu memberikan kebijakan yang betul-betul menjawab permasalahan di lapangan,“ ujarnya.
Baca juga: Pemprov Jatim Keluarkan Aturan Sound Horeg, Bupati Lumajang Siapkan Aturan Turunannya
Selanjutnya, efektivitas kebijakan itu akan sangat bergantung pada pengawasan dan penindakan langsung dari aparat.
Oleh karena itu, ia berharap SE tersebut ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian setempat, dalam rangka melakukan pengawasan di lapangan.
“Jika ada pelanggaran di lapangan, namun jika tidak ditindak secara langsung, maka adanya SE itu akan percuma. Potensi konflik horizontal akan tetap ada kalau pengawasan tidak dilakukan secara tegas,” tegasnya.
Terlepas dari hal itu, Alie tetap mengapresiasi kebijakan pemrintah provinsi Jawa Timur yang telah mengeluarkan kebijakan terkait sound horeg itu.
Sebab, persolan itu sudah lama menjadi keresahan masyarakat.
“Ini sebagai bukti pemerintah hadir. Namun dengan catatan bahwa implementasinya harus tetap dikawal dan aturan tidak dibiarkan sebagai dokumen tertulis saja, sehingga bisa menjadi jawaban betul atas masalah dan kegelisahan masyarakat,” pungkasnya.
Baca juga: Sikapi Sound Horeg, Khofifah, Kapolda, dan Pangdam Teken SE Bersama Aturan Pengeras Suara
Diberitakan sebelumnya, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto, dan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Rudy Saladin meneken Surat Edaran (SE) Bersama yang memuat aturan tentang pengeras suara atau yang populer dengan istilah sound horeg di Jawa Timur, dengan Nomor 300.1/6902/209.5/2025, Nomor SE/1/VIII/2025, dan Nomor SE/10/VIII/2025 tanggal 6 Agustus 2025 tentang penggunaan sound system/pengeras suara di wilayah Jatim.
Dalam SE Bersama itu, terdapat pembatasan tingkat kebisingan untuk dua jenis pengeras suara:
Pengeras suara statis (menetap), seperti untuk konser musik atau pertunjukan seni budaya di dalam maupun luar ruangan: maksimal 120 desibel (dBA).
Pengeras suara nonstatis (bergerak), seperti pada karnaval budaya atau aksi unjuk rasa: maksimal 85 desibel (dBA).
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang