MALANG, KOMPAS.com - Fenomena pengibaran bendera kelompok bajak laut topi jerami dari serial anime populer One Piece di berbagai platform media sosial dan ruang publik tengah menjadi sorotan.
Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya (UB), Anang Sujoko, menilai bahwa gerakan ini bukan sekadar tren, melainkan telah bertransformasi menjadi simbol perlawanan yang kuat dari masyarakat terhadap kekuasaan.
Menurut Anang, ketika sebuah simbol diadopsi secara massal dengan pemaknaan yang seragam, maka simbol tersebut dapat menjadi alat protes yang efektif.
Baca juga: Bendera One Piece Mungkin Bentuk Protes, Jiwa Raga Kami Tetap Merah Putih
Fenomena ini mencerminkan kebuntuan komunikasi, di mana masyarakat merasa kata-kata tidak lagi memadai untuk menyampaikan kritik atau aspirasi guna mengubah kebijakan yang ada.
"Ketika simbol ini digunakan, sebetulnya gerakan ini sangat kuat sekali. Ini harus menjadi perhatian prioritas oleh masyarakat, pemerintah, atau pihak-pihak yang dituju atas gerakan itu," ujar Anang pada Minggu (3/8/2025).
Ia menjelaskan bahwa gerakan pengibaran bendera One Piece merupakan wujud perlawanan di saat masyarakat merasa tidak memiliki daya (powerless) dalam menghadapi kebijakan penguasa.
Namun, Anang menekankan pentingnya untuk tetap berkomitmen pada cara-cara damai dalam menyampaikan protes.
"Ini adalah bentuk komunikasi high context culture, di mana seharusnya dipahami secara bijaksana. Pemerintah atau legislatif seharusnya melihat fenomena ini sebagai bentuk ketiadaan daya masyarakat dalam menghadapi kebijakan oleh penguasa, namun mereka tetap berkomitmen ingin berperilaku damai," ungkapnya.
Menanggapi beberapa respons dari pejabat publik dan anggota legislatif yang cenderung reaktif, Anang menyayangkan sikap tersebut.
Ia berpendapat bahwa respons yang menyalahkan para pengibar bendera justru menunjukkan hilangnya komunikasi yang bersifat empati dari pihak penguasa.
Seharusnya, lanjut Anang, pemerintah dan legislatif menjadikan fenomena ini sebagai momentum untuk introspeksi dan evaluasi diri secara serius.
"Respons dari pemerintah atau legislatif harusnya adalah betul-betul membaca dan mengevaluasi diri, bukan kemudian menyalahkan mereka. Kalau sampai menyalahkan, artinya komunikasi yang sifatnya empati itu sudah tidak ada," jelasnya.
Anang juga mencontohkan salah satu pemicu kekecewaan publik yang relevan dengan gerakan ini, yaitu kebijakan pemblokiran rekening yang digeneralisasi.
Baca juga: Soal Bendera One Piece, Wamen Bima Arya: Kami Melihat Itu Ekspresi dan Kreativitas
Kebijakan tersebut dinilai merugikan masyarakat yang tidak bersalah dan menghalangi hak mereka atas aset pribadinya.
"Masyarakat yang dirugikan ini sebetulnya sudah dalam batas tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Gerakan simbolis ini adalah cara mereka untuk berbicara secara damai kepada pemerintah dan legislatif," tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang