KOMPAS.com - Tim Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Probolinggo, Mashudi, menggugat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes-PDTT).
Warga Kelurahan Citrodiwangsan, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini mengaku, dirinya diberhentikan sepihak Kemendes-PDTT.
Selain dirinya, terdapat 3 orang lain di Lumajang mendapat perlakuan serupa. Namun, ia tidak menyebutkan siapa tiga orang lain tersebut.
Baca juga: Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern
"Kalau di Lumajang ini yang diberhentikan ada tiga, jadi empat dengan saya," kata Mashudi di Lumajang, Senin (8/7/2024).
Mashudi bercerita, ia bertugas sebagai TAPM di Lumajang sejak 2016. Awal 2004, ia dipindah ke Probolinggo. Namun, akhir Juni 2024, ia tiba-tiba diberhentikan.
Surat pemberhentian didapat Mashudi dari pesan Whatsapp yang dikirimkan salah satu pejabat Kemendes.
Mashudi menduga, pemberhentian dirinya dan rekan sesama TAPM dikarenakan faktor politis lantaran dianggap tidak mendukung caleg dapil Jember-Lumajang yang ia sebut sebagai putra mahkota.
Dugaan Mashudi tentang faktor politis semakin kuat lantaran selama bertahun-tahun bekerja di Kemendes ia tidak pernah mendapat surat teguran secara tertulis.
Baca juga: Syarat Beasiswa Kuliah Gratis Anak Transmigran 2024 dari Kemendes PDTT
Namun, Mashudi tidak menjelaskan secara detail siapa sosok caleg yang disebut putra mahkota itu.
"Saya berani menuntut karena teman-teman saya yang menjadi pendamping desa maupun pendamping lokal desa juga mengalami kejadian serupa."
"Diberhentikan karena dianggap tidak mendukung putra mahkota saat pileg 2024. Saya pegang semua buktinya," tegas Mashudi.
Lebih lanjut, Mashudi menyebut, teman sesama pendamping desa yang tidak dipecat, beberapa juga dipindah tugas ke luar kota.
"Ada teman-teman dari Jember juga mengalami nasib yang sama. Ada yang dihentikan, ada pendamping yang dioper ke Situbondo," katanya.
Sementara itu kuasa hukum Mashudi, Sri Sugeng Pujiatmiko mengatakan, selain menuntut mengembalikan hak kliennya sebagai TAPM, pihaknya juga melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran bimtek peningkatan partisipasi pegiat desa sebesar Rp 10 miliar.
Baca juga: Kemendes PDTT Latih Pemuda Gereja Jadi Kader Pembangunan Desa di NTT
Ia berharap kasus penyalahgunaan anggaran tersebut diusut secara tuntas.
"Diduga terdapat pihak-pihak terkait dalam penggunaan anggaran bimtek dimaksud."
"Maka kami meminta kepada pihak yang berwajib, khususnya KPK menindaklanjuti terhadap penggunaan dan pengelolaan anggaran bimtek di kementerian desa yang diduga melibatkan pihak-pihak terkait untuk kepentingan politik," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang