KOMPAS.com - Petirtaan Jolotundo berada di bawah kaki Gunung Penanggungan yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Saat prosesi penyatuan air dan tanah dari seluruh Indonesia, Gubernur Jawa Timur membawa air dari sumber mata air dari Petirtaan Jolutundo ke IKN pada 14 Maret 2022 lalu.
Letak petirtaan itu berada di sebuah kawasan hijau seluas 3.019,75 meter persegi pada ketinggian 525 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Tepatnya pada lereng barat Gunung Penanggungan, Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
Baca juga: 12 Aturan Berkunjung ke Petirtaan Jolotundo, Candi dengan Kolam Pemandian di Mojokerto
Masyarakat Jawa kuno mengenal dataran setinggi 1.653 mdpl ini sebagai daerah suci bernama Gunung Pawitra, seperti disebut dalam kitab Negarakertagama. Pawitra sendiri diartikan sebagai sumber air.
Masyarakat Seloloman menggelar ruwatan sebagai bentuk syukur kepada Sang Pencipta atas berkah limpahan air dari kolam Petirtaan Jolotundo yang mengairi kebun dan sawah mereka.
Kegiatan budaya unduh atau semacam ruwatan pada Senin (24/7/2023).
Saat ruwatan digelar, warga menyatukan air dari 33 kendi ke kolam Petirtaan Jolotundo.
Sebanyak 33 air dalam kendi itu berasal dari empat gunung di sekitar petirtaan yakni Saraklopo, Bekel, Kemuuncuo dan Gajahmungkur; serta empat bukit yakni Semodo, Jambe, Bende dan Wangi.
Baca juga: Harga Tiket Masuk dan Jam Buka Petirtaan Jolotundo di Mojokerto
Kedelapan gunung dan bukit tadi berada tepat di sekitar Penanggungan seperti membentuk delapan penjuru mata angin.
Disebutkan kualitas air Petirtaan Jolutundo terbaik nomor dua di dunia setelah dilakukan pengujian sebanyak tiga kali.
Penelitian perdana dilaksanakan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan pada tahun 1984. Langkah serupa turut dilakukan tim arkeologi Indonesia-Belanda pada 1991 dan terakhir oleh Ikatan Dokter Indonesia Pusat di 1994.
Seperti dikutip dari buku Patirtaan Jalatunda karya guru besar arkeologi Universitas Leiden, Belanda, Frederik David Kan Bosch pada 1965, semua berawal dari keinginan Raja Udayana untuk membangun sebuah tempat pemandian khusus di lereng Pawitra.
Pembangunnan tersebut sebagai bentuk syukur atas kelahiran Airlangga, buah hati dari pernikahan Udayana dengan Mahendradatta atau dikenal pula sebagai Putri Gunapriya Dharmapatni.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.