Cerpen Rita Zahara
“Jadi sampai di sini perkawinan kita?”Arindra berkata dengan nada datar sambil beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap mataku tanpa ekspresi yang cukup berarti. Kupandang bola matanya dengan sorotan yang tajam. Kami terdiam. Belum sempat kujawab, ia langsung menyambung pembicaraan.
“Okay, itu memang yang kutunggu.” Istriku, Arindra Maharani menggugat cerai dengan seribu satu alasannya.
* * *
Malam itu, di tengah hujan lebat dan dinginnya udara Bojong Rangkong, ia datang ke kosku hanya untuk memohon agar aku segera menikahinya karena ia akan segera dinikahkan dengan anak tengkulak beras di Cianjur. Selain itu orangtuanya malu karena sudah dianggap punya anak yang berstatus perawan tua menurut ukuran kampungnya karena sudah berumur 27 tahun belum nikah.
Arindra memang perempuan pilihanku, cantik, pintar, supel dan bagiku dia bukan perempuan yang berambisi untuk berkarier di luar rumah meskipun kini telah menyandang gelar sarjana dari universitas terkemuka. Dia lebih memilih mengajar di bimbingan belajar dan les privat dari rumah-ke rumah anak-anak orang kaya di sekitar Depok. Kalau dibandingkan dengan prestasi kuliahnya, tentu saja amat disayangkan kalau pada akhirnya ia hanya memilih sebagai guru bimbingan belajar dan les privat. Masuk universitas negeri melalui jalur PMDK, semasa kuliah pernah menjadi mahasiswa berprestasi, dan satu lagi yang kusuka darinya, tidak pernah menunjukkan kelebihan yang ia punya.
Mendengar dia akan dinikahkan dengan Sukanda, anak tengkulak beras yang konon katanya pemabuk dan penyandang gelar lelaki perlente yang matanya jelalatan kalau melihat perempuan, aku langsung terperanjat dan tak akan rela Arindraku tersayang mendapatkan lelaki seperti itu.
Arindra sembah sujud dengan orangtuanya minta dinikahkan dengan aku dan mengaku sudah hamil dua bulan. Akupun tak pernah menyangka kalau ia bisa membuat alasan seperti itu. Dengan proses yang agak panjang, akhirnya aku jadi juga menikah dengan Arindra. Tak ada janur kuning, apalagi atraksi jaipongan seperti yang sering ditampilkan oleh orang-orang di kampungku.
Semua ini karena pada dasarnya kami tak direstui oleh orangtua. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba ada pernikahan mendadak di kampungku. Berita perempuan pengantin yang telah hamil pun menyebar ke semua kampung. Di kampungku, perempuan yang menikah karena hamil terlebih dahulu atau istilah anak zaman sekarang married by accident alias em bi ei adalah hal yang lumrah. Banyak pasangan muda menikah tanpa tujuan yang jelas dan akhirnya bercerai saat usia perkawinan masih seumur jagung. Tidak heran banyak perempuan yang berusia dua puluh lima sudah menyandang gelar janda dua kali.
* * *
Bulan pertama pernikahan, tentu saja dilalui dengan indah. Mungkin inilah yang disebut sebagai syurga dunia. Setiap pagi, Arindra menyediakan nasi goreng khas buatannya. Rasanya asin dan tak karuan, entah bumbu apa yang ia gunakan.