Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lingkaran Bertepi

Kompas.com, 18 November 2008, 00:36 WIB

Cerpen Rita Zahara

“Jadi sampai di sini perkawinan kita?”Arindra berkata dengan nada datar sambil beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap mataku tanpa ekspresi yang cukup berarti. Kupandang bola matanya dengan sorotan yang tajam. Kami terdiam. Belum sempat kujawab, ia langsung menyambung pembicaraan.
“Okay, itu memang yang kutunggu.” Istriku, Arindra Maharani menggugat cerai dengan seribu satu alasannya.

* * *

Malam itu, di tengah hujan lebat dan dinginnya udara Bojong Rangkong, ia datang ke kosku hanya untuk memohon agar aku segera menikahinya karena ia akan segera dinikahkan dengan anak tengkulak beras di Cianjur. Selain itu orangtuanya malu karena sudah dianggap punya anak yang berstatus perawan tua menurut ukuran kampungnya karena sudah berumur 27 tahun belum nikah.

Arindra memang perempuan pilihanku, cantik, pintar, supel dan bagiku dia bukan perempuan yang berambisi untuk berkarier di luar rumah meskipun kini telah menyandang gelar sarjana dari universitas terkemuka. Dia lebih memilih mengajar di bimbingan belajar dan les privat dari rumah-ke rumah anak-anak orang kaya di sekitar Depok. Kalau dibandingkan dengan prestasi kuliahnya, tentu saja amat disayangkan kalau pada akhirnya ia hanya memilih sebagai guru bimbingan belajar dan les privat. Masuk universitas negeri melalui jalur PMDK, semasa kuliah pernah menjadi mahasiswa berprestasi, dan satu lagi yang kusuka darinya, tidak pernah menunjukkan kelebihan yang ia punya.

Mendengar dia akan dinikahkan dengan Sukanda, anak tengkulak beras yang konon katanya pemabuk dan penyandang gelar lelaki perlente yang matanya jelalatan kalau melihat perempuan, aku langsung terperanjat dan tak akan rela Arindraku tersayang mendapatkan lelaki seperti itu.

Arindra sembah sujud dengan orangtuanya minta dinikahkan dengan aku dan mengaku sudah hamil  dua bulan. Akupun tak pernah menyangka kalau ia bisa membuat alasan seperti itu. Dengan proses yang agak panjang, akhirnya aku jadi juga menikah dengan Arindra. Tak ada janur kuning, apalagi atraksi jaipongan seperti yang sering ditampilkan oleh orang-orang di kampungku.

Semua ini karena pada dasarnya kami tak direstui oleh orangtua. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba ada pernikahan mendadak di kampungku. Berita perempuan pengantin yang telah hamil pun menyebar ke semua kampung. Di kampungku, perempuan yang menikah karena hamil terlebih dahulu atau istilah anak zaman sekarang  married by accident alias em bi ei adalah hal yang lumrah. Banyak pasangan muda menikah tanpa tujuan yang jelas dan akhirnya bercerai saat usia perkawinan masih seumur jagung. Tidak heran banyak perempuan yang berusia dua puluh lima sudah menyandang gelar janda dua kali.

* * *

Bulan pertama pernikahan, tentu saja dilalui dengan indah. Mungkin inilah yang disebut sebagai syurga dunia. Setiap pagi, Arindra menyediakan nasi goreng khas buatannya. Rasanya asin dan tak karuan, entah bumbu apa yang ia gunakan.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau