Salin Artikel

Peluh di Bawah Terik Surabaya: Kisah Hidup Pak Markan, Sang Pemungut Sampah

Namun, panasnya Surabaya tak mampu mengendurkan semangat Pak Markan, pemungut sampah jalanan berusia 67 tahun yang tinggal di Gang 6 Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya.

Meski sudah lanjut usia, ia masih memiliki pribadi yang ramah dan ekspresif.

Dengan senyum sederhana, ia menjalani hari-harinya mendorong gerobak hijau berukuran besar untuk memunguti sampah di area Lidah Wetan, Lidah Kulon, hingga pertigaan Lakarsantri di Jalan Lontar.

Semua itu ia lakukan bukan semata-mata untuk bekerja mencari uang melainkan karena tekadnya menjaga kebersihan lingkungan.

Sampah-sampah yang ia punguti selalu ia pilah dengan telaten.

“Biasanya saya pisah, kalau sampah basah ya saya masukin ke karung putih yang isinya full sampah basah, kalau sampah yang bisa didaur ulang, kayak plastik, saya masukin ke karung yang isinya khusus daur ulang."

"Ya seperti itu, lalu saya masukin ke gerobak, terus lanjut pindah tempat,” ucapnya sambil menghela napas.

Sesekali, Pak Markan juga menemukan benda yang masih layak pakai.

“Kadang saya nemuin barang yang masih bagus, kayak tas atau kaos. Memang kotor, kan dapatnya dari tong sampah, tapi bisa dicuci, jadi kan masih bisa dipakai lagi,” katanya sembari tangannya bergerak memperagakan. 

Rutinitasnya dimulai sejak pagi pukul tujuh. Ia berkeliling dari gang-gang kecil di sekitar rumahnya, lalu berlanjut ke pertigaan Lakarsantri di Jalan Lontar saat menjelang siang.

Dari siang hingga sore sekitar pukul lima, ia masih setia memunguti sampah di kawasan Lidah Wetan, tepatnya di sekitar Gang 1 sampai 3.

“Ya kalau semuanya dari Lidah Wetan gang satu sampai sepuluh saya bersihin sampah sendirian, saya nggak kuat, Mbak. Umur saya sudah tua, sudah gampang capek,” ujarnya sambil tertawa kecil, lalu menyeruput kopi hitam pemberian warga.

Meski sudah terbiasa, pekerjaan ini tetap menyimpan tantangan untuk pak Markan.

“Kadang kaki saya sakit kalau dorong gerobak yang isinya mulai berat. Makanya saya sering duduk sebentar di tempat teduh buat istirahat, ya seperti sekarang ini,” keluhnya dengan wajah yang sedikit letih. 

Setelah sampah terkumpul, ia biasanya menaruhnya di pinggir Jalan Raya Lidah Wetan, tepat di depan Gang 1. Di sanalah ia menunggu truk sampah milik Unair yang biasanya datang selepas magrib.

“Ya, biasanya nanti truk sampah dari unair dating ke sana, buat ambil sampah yang saya kumpulkan,” jelasnya.

14 tahun jadi pemungut sampah setelah jadi kuli bangunan

Perjalanan hidup Pak Markan sebagai pekerja pemungut sampah jalanan sudah ia tempuh selama 14 tahun, tepatnya sejak tahun 2011.

Dahulu, sebelum menjadi pemungut sampah, ia adalah pekerja bangunan. Namun, karena usia semakin menua dan tenaga tak lagi sekuat dulu, ia memutuskan berhenti.

“Saya inisiatif sendiri kerja memunguti sampah. Biar lingkungan bersih, soalnya jarang ada juga kan yang mau kerja kayak gini, gajinya kecil pula,” ungkapnya.

Dari RT, ia hanya mendapat gaji tetap sebesar Rp 25-35.000 per bulan. Meski begitu, kebaikan warga kerap menambah rezekinya.

“Kadang ada orang atau warga sekitar sini yang ngasih saya uang Rp 15 ribu, Rp 20 ribu, Rp 30 ribu. Kadang juga dikasih rokok, atau kopi kayak gini,” ujarnya sambil menunjuk gelas kopi di sampingnya, lalu menyesapnya dengan wajah lega.

“Ya, namanya hidup dinikmati saja. Selagi badan sehat dan masih bisa berusaha, niatnya baik untuk bikin lingkungan bersih dari sampah, insyaallah bisa,” ucapnya, matanya menatap jauh seolah menimbang perjalanan panjang hidupnya.

Namun di balik pekerjaan sebagai pendorong gerobak sampah dan pemungut sampah tersebut, Pak Markan menyimpan kebanggaan besar.

Dari hasil kerja kerasnya bersama sang istri—yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sapu di kawasan Citraland—ia berhasil menyekolahkan dua anaknya hingga lulus sarjana.

“Anak saya ada dua. Yang pertama laki-laki, sarjana pendidikan dari Unesa Lidah Wetan sini. Yang kedua perempuan, sarjana pendidikan juga, lulusan Universitas Wijaya Kusuma, dibantu beasiswa Pemuda Tangguh dari Pemkot Surabaya,” kisahnya penuh semangat.

Kedua anaknya berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 2017 dan 2022. Capaian itu menjadi bukti nyata bahwa jerih payah Pak Markan dan istrinya tak pernah sia-sia.

Meski berprofesi sederhana, mereka mampu memberikan warisan berharga bagi anak mereka, yakni pendidikan.

“Saya senang sekali, Mbak. Walau kerja begini, pendidikan anak-anak bisa lebih baik dari orang tuanya,” ucapnya dengan senyum lebar yang menyembunyikan lelah.

Kini, pada usianya yang menua, Pak Markan masih punya harapan sederhana.

“Kalau ada rezeki lebih, saya mau beli motor bekas. Biar nggak berat-berat dorong gerobak sampah. Soalnya umur saya sudah tua, jadi badan gampang capek,” katanya lirih, matanya menatap gerobak hijau tuanya yang terparkir di pinggir jalan.

Pada akhir perbincangan, Pak Markan memberi pesan “Saya kerja memunguti sampah bukan sok baik atau sok peduli tapi karena hidup cuma sekali, ya harus jadi orang yang berarti, dan bisa bermanfaat untuk orang lain,” tuturnya yang diakhiri dengan senyuman.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/12/04/083159078/peluh-di-bawah-terik-surabaya-kisah-hidup-pak-markan-sang-pemungut-sampah

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com