Dia mengatakan, pemicu bencana tersebut merupakan bagian dari sistem cuaca regional Asia Tenggara yang ekstrem dan berkorelasi dengan perubahan pola hujan.
Hal tersebut juga didukung dengan adanya banjir serupa di Malaysia.
“Pemicu utamanya yaitu curah hujan ekstrem akibat siklon tropis Senyar dan bibit siklon di Selat Malaka yang juga memicu banjir besar di beberapa negara bagian Malaysia,” kata Hijrah, Selasa (2/12/2025).
Ditambah lagi, kondisi lingkungan seperti lereng gundul, pemukiman di sekitar sungai, drainase terbatas, dan infrastruktur vital yang belum adaptif menjadi faktor yang memperparah kondisi banjir.
Ia menyoroti isu penebangan kayu di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) juga menjadi faktor yang memperparah bencana tersebut.
“Video dan foto yang beredar menunjukkan banyak kayu terdampar di sungai dan pesisir. Itu bukan sekedar fenomena alam, melainkan bukti adanya aktivitas penebangan yang tidak terkendali,” tuturnya.
Dalam ekosistem, pohon berperan penting dalam menyimpan cadangan air tanah dan menahan struktur tanah agar tidak terjadi longsor.
“Penebangan hutan membuat daya serap berkurang, memperbesar limpasan air, dan meningkatkan risiko longsor,” ujarnya.
Meskipun begitu, ia mengapresiasi langkah cepat pemerintah seperti evakuasi dengan helikopter dan kapal perang, distribusi logistik, pemulihan listrik, hingga modifikasi cuaca.
“Antisipasi jangka pendek mungkin sudah cepat walaupun ada beberapa titik yang sulit dijangkau secara geografis agak sedikit terlambat,” ungkapnya.
Hal tersebut menunjukkan respons darurat yang berjalan cukup baik.
Namun, menurutnya pemerintah masih perlu peningkatan antisipasi jangka panjang.
“Antisipasi jangka panjang masih lemah, sistem peringatan dini belum menjangkau desa terpencil, tata ruang belum disiplin, dan rehabilitasi lingkungan masih sporadis,” ucapnya.
Langkah Konkrit
Ia menambahkan perlunya langkah konkrit yang bisa dibagi 3 tahap.
Pertama, jangka pendek memfokuskan 72 jam SAR, suplai logistik, dan layanan kesehatan.
Kedua, jangka menengah melakukan audit kerusakan, perbaikan infrastruktur, dan relokasi warga dari zona merah.
Ketiga, jangka panjang dengan rehabilitasi DAS, reboisasi lereng, normalisasi sungai, integrasi mitigasi ke RPJMD.
“Ini bukan sekadar takdir, tapi konsekuensi dari cara kita mengelola alam dan kesiapan sistem kita.”
“Kalau kita ingin mengurangi korban di masa depan, maka ketahanan harus dibangun dari disiplin tata ruang, ekologi DAS, dan sistem peringatan dini yang terintegrasi secara regional,” pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/12/02/150535678/pakar-unair-sarankan-langkah-mitigasi-untuk-bencana-sumatera-butuh-sistem