Bangunan tiga lantai ambruk, menimbun sejumlah santri. Di balik reruntuhan beton yang berat, seorang santri bernama Nur Ahmad terjebak dengan lengan tertindih material bangunan.
Di saat genting itulah, keputusan sulit harus diambil, yaitu amputasi yang dilakukan di lokasi agar nyawa korban bisa diselamatkan.
“Jam 07.11 saya ditelepon direktur RSUD RT Notopuro Sidoarjo yang sedang bersama bupati, Dinkes, dan tim SAR. Beliau menyampaikan ada satu pasien yang terjebak dan tergencet lengannya di bawah reruntuhan. Pasien ini kemungkinan memerlukan tindakan amputasi di tempat,” tutur dr Larona Hydravianto, Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD RT Notopuro, menceritakan pengalamannya menolong korban tragedi Al Khonziny dalam Obrolan News Room, Kompas.com.
Tanpa ragu, ia pun menuju lokasi. Setelah tiba bersama tim SAR, ia merayap ke titik korban berada.
Suasana gelap, sempit, dan pengap, hanya diterangi lampu kecil yang dipasang seadanya.
“Saya masuk, melakukan evaluasi awal, memanggil dan menyapa. Jawaban pasien iya, iya, aduh dengan suara pelan karena lemah. Matanya bisa terbuka, kaki bisa bergerak pelan, tapi tangan kanan benar-benar tergencet di bawah reruntuhan yang sudah sampai lantai. Tidak ada ruang sama sekali,” ucapnya.
Ia juga sempat meraba jari-jari korban yang dingin dan tidak bergerak. Karena kondisi sudah syok dan jika menunggu lebih lama hanya akan memperbesar risiko.
“Kalau kita tunggu, tidak tahu bangunannya bisa diangkat atau tidak, nanti malah membahayakan pasien. Sehingga kita lakukan amputasi ditempat,” ujarnya.
Tindakan darurat
Amputasi yang biasanya dilakukan dengan peralatan lengkap di rumah sakit. Namun, saat itu harus dilakukan di bawah puing-puing rapuh, sehingga membuat situasi sangat berbeda.
Sebelum melakukan tindakan, tim sempat menyiapkan sejumlah alat, tetapi ia menolak demi keselamatan pasien.
“Saya minta waktu untuk meminta bantuan. Kami memanggil dr Farouq Abdurrahman (anestesi), dr Aaron Franklyn (PPDS Ortopedi), serta perawat dan peralatan operasi lengkap, termasuk tabung oksigen,” kata dokter yang menempuh pendidikan Medical Doctor di Universitas Airlangga, Surabaya itu.
Tiga puluh menit kemudian, bantuan datang. Meski ruang gerak terbatas, tim dokter tetap melakukan operasi dengan prinsip cepat dan tepat.
“Saya putuskan memotong di sendi karena hanya perlu pisau kecil. Tidak butuh banyak alat, karena manuvernya terbatas,” ujar dia.
Keberanian di tengah rasa takut
Bagi dr Larona Hydravianto dan tim, masuk ke reruntuhan bukan tanpa rasa was-was. Apalagi, di bawah puing bangunan yang sewaktu-waktu bisa runtuh kembali.
“Waktu saya pertama masuk, ada angin besar, sisa reruntuhan goyang-goyang. Risiko sangat tinggi, tempatnya sempit, gelap, dan hanya bisa dijangkau satu orang. Saya mengambil posisi di bawah, sementara dokter lain mengarahkan,” ujar dokter yang juga dikenal sebagai Konsultan Spine berpraktik di sejumlah rumah sakit itu.
Keputusan amputasi itu menjadi titik balik penyelamatan Nur Ahmad. Meski harus kehilangan lengan, nyawanya berhasil diselamatkan.
“Hati kita pasti ada rasa khawatir. Saya pun begitu, saya punya keluarga di rumah. Tapi naluri seorang tenaga medis selalu berpikir bahwa pasien harus diselamatkan. Ada perasaan nekat juga, ya kita pasrah dan berdoa saja,” kata dia.
Kondisi Nur Ahmad kini
Setelah berhasil dievakuasi, Ahmad Nur dibawa ke RSUD Sidoarjo untuk menjalani operasi lanjutan sekaligus pembersihan luka, pengangkatan jaringan mati, serta perapian kulit di bagian amputasi.
Kini, kondisinya berangsur membaik. Luka sembuh perlahan, nyeri berkurang, dan sudah bisa beraktivitas ringan.
“Alhamdulillah kabarnya sangat menggembirakan. Luka sudah mulai membaik, nyeri berangsur hilang. Dia sudah bisa melakukan aktivitas ringan sendiri, makan tiga kali sehari, dan semua hasil lab normal,” kata dr Larona Hydravianto.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/10/06/195020978/cerita-dr-larona-hydravianto-amputasi-santri-al-khoziny-di-bawah-reruntuhan