Salin Artikel

10 Tahun Tinggal di Tulungagung, WN Malaysia Ditangkap Kantor Imigrasi Blitar

BLITAR, KOMPAS.com – Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Blitar menangkap warga negara Malaysia bernama inisial MHK (23) di sebuah desa di wilayah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Sebab, WNA tersebut tidak dapat menunjukkan dokumen keimigrasian untuk tinggal di wilayah Indonesia.

Padahal, pria itu sudah tinggal di desa tersebut sejak sekitar 10 tahun yang lalu ketika masih berusia belasan tahun.

Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian Kantor Imigrasi Blitar, Rini Sulistyowati, mengatakan bahwa penangkapan terhadap MHK telah dilakukan akhir Juli 2025 lalu dan kini perkara tersebut telah memasuki masa persidangan.

“Saat ini yang bersangkutan sudah mulai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tulungagung untuk dakwaan pelanggaran Pasal 116 jo Pasal 71(b) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,” ujar Rini kepada Kompas.com melalui telepon, Kamis (21/8/2025) sore.

Penindakan terhadap MHK, kata Rini, dilakukan karena MHK tidak dapat menunjukkan dokumen-dokumen yang diperlukan oleh warga negara asing (WNA) untuk tinggal di wilayah Republik Indonesia.

Lebih jauh, Rini mengungkapkan bahwa sebenarnya kedua orangtua MHK adalah WNI asal Tulungagung. Namun, MHK lahir di Malaysia.

Rini menduga, orangtua MHK pernah tinggal dan bekerja sebagai buruh migran untuk waktu yang cukup lama di Malaysia.

“Mungkin MHK lahir di Malaysia ketika kedua orangtuanya tinggal di Malaysia,” tuturnya.

Ketika MHK berusia belasan tahun, lanjutnya, kedua orangtuanya pulang ke Tulungagung dengan membawa serta anak mereka, MHK.

Menurut Rini, MHK sebenarnya memiliki dokumen perjalanan yang digunakan saat keluar dari Malaysia dan masuk ke wilayah Indonesia sekitar 10 tahun lalu.

Namun, dokumen beserta izin tinggalnya di Indonesia sudah lama kedaluwarsa dan hilang.

“Jadi kasus ini terjadi lebih karena ketidaktahuan orangtua dan keluarga MHK tentang hukum keimigrasian,” ujarnya.


“Mungkin orangtuanya juga tidak merasa ada yang salah dengan membawa anak kandung mereka pulang dan menetap di kampung halamannya di Tulungagung,” imbuh Rini.

Ditanya bagaimana cara MHK mengurus dokumen kewarganegaraan Indonesia (WNI), Rini mengatakan bahwa MHK harus lebih dulu pulang ke Malaysia. Untuk itu pun, MHK masih lebih dulu harus menunggu proses pengadilan dan vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim.

“Harus menunggu dulu seperti apa vonis yang akan dijatuhkan pengadilan nanti,” tuturnya.

Selanjutnya, kata Rini, MHK harus kembali ke Malaysia lalu mengurus perjalanan ke Indonesia dengan visa izin tinggal terbatas di Indonesia (VIPAS).

Proses pengajuan permohonan untuk menjadi WNI, kata dia, baru dapat dilakukan setelah MHK kembali berada di wilayah Indonesia lagi.

Rini menduga proses MHK untuk menjadi WNI akan lebih mudah karena kedua orangtuanya adalah WNI.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/21/184324778/10-tahun-tinggal-di-tulungagung-wn-malaysia-ditangkap-kantor-imigrasi

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com