SURABAYA, KOMPAS.com - Suasana bus antarkota kini terasa berbeda. Jika dulu perjalanan ditemani musik dangdut koplo, tembang Jawa, atau playlist pop kekinian, kini penumpang hanya mendengar suara mesin dan deru roda yang bersaing dengan angin di luar jendela.
Keheningan itu muncul setelah perusahaan otobus (PO) ramai-ramai menghentikan pemutaran musik di armadanya.
Kebijakan ini diambil menyusul aturan tentang royalti hak cipta lagu dan musik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
Namun, di balik aturan hukum, ada penumpang yang merasakan langsung perbedaan suasana. Ada juga yang merasa kehilangan, dan ada pula yang justru tenang.
Biasanya hidup sekarang hening
Seperti Ian Setiawan, salah satu penumpang asal Malang yang setia menggunakan bus antarkota sebagai sarana mobilitasnya bekerja.
Ia mengaku ada rasa janggal ketika naik bus yang biasanya penuh alunan musik kini tanpa musik.
“Hehehe iya, biasane bus Tentrem atau Bagong ada musik Jawa dan sekarang tidak muter,” katanya sambil terkekeh kepada Kompas.com.
Ia menyebut, musik bukan sekadar hiburan, melainkan sudah menjadi bagian dari bus agar tidak bosan saat perjalanan.
"Sebagai customer tentu inginnya bus bisa muter lagu lagi, ya meski tidak semuanya bus sekarang hening, masih ada yang muter musik. Cuma kan itu memang salah satu fasilitas di bus untuk menarik pelanggan setia,” tutur Ian Setiawan.
Untuk itu, kini tanpa musik, ia memilih cara sederhana untuk tetap menikmati perjalanan.
“Ya muter musik di HP sendiri tapi pakai headset. Takutnya di loud speaker nanti ditagih juga,” katanya sambil bercanda.
Baginya, hiburan di dalam bus tetap penting.
Menurutnya, aturan ini seharusnya tidak mengurangi kenyamanan pelanggan, bahkan melontarkan ide kocak soal alternatif pengganti musik agar suasana perjalanan tidak membosankan.
“Pajak royalti dll kan urusannya manajemen bis, kita customer kan harusnya tetep dapat fasilitas bus biar merasa nyaman juga," kata pria yang hampir setiap jelang weekend selalu menggunakan bus antarkota itu.
"Salah satunya musik, penting lah. Kalo hiburan musik tidak boleh di bus, ya diganti sulap aja yang penting menghibur. Apa sirkus taman safari buat bus Surabaya-Malang, tari remo atau bantengan juga boleh,” katanya sambil bercanda.
Denger playlist sendiri
Sementara itu, berbeda dengan Ian Setiawan, Monang Saragih justru tidak terlalu peduli dengan hilangnya musik dari bus.
“Ah, saya lebih suka playlist sendiri sih, lebih suka pakai headset selama perjalanan,” katanya santai.
Untuk itu, suasana hening di dalam bus justru bisa menjadi solusi.
Aturan baru ini sama sekali tidak mempengaruhi cara menikmati perjalanan dalam menggunakan bus.
“Aman aja sih. Justru kan dari sekian banyak manusia kumpul seleranya enggak jadi satu. Mending diem, setel selera masing-masing,” ujar pria yang biasa disapa Monang dan cukup sering menggunakan bus untuk bepergian ke luar kota itu.
“Buka Soundcloud, suda. Dengerin playlist sendiri. Berhubung tidak suka nonton, jadi dengerin musik aja. Jadi tidak ngaruh sama sekali,” katanya.
Tagar “transportasi Indonesia hening”
Fenomena ini ikut memunculkan tagar #TransportasiIndonesiaHening di media sosial.
Banyak penumpang bus menumpahkan isi hatinya.
Ada yang rindu suasana bus ditemani lagu, ada juga yang menikmati kesunyian sambil membawa hiburan pribadi.
Di balik semua itu, kebijakan ini sebenarnya lahir dari keinginan untuk menghormati hak cipta.
Sesuai PP Nomor 56 Tahun 2021, pemutaran musik di ruang publik komersial, termasuk bus, harus membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/20/164759578/bus-antarkota-kini-hening-tanpa-musik-penumpang-pilih-dengar-playlist