Di balik bangunan putih sederhana yang bertempat di Jalan Medayu Selatan, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa Timur itu menjadi gudang sejuta ilmu dan catatan heroik sejak zaman penjajahan.
Pegawai perpustakaan Medayu Agung, Didin menceritakan awal mula berdirinya bangunan tersebut dari kesenangan Oei Hiem Hwie selaku pendiri perpustakaan, dalam membaca dan mengoleksi buku-buku edukasi dan sejarah.
Didin menjelaskan sebelum mendirikan perpustakaan, Hwie dulunya berprofesi sebagai jurnalis ‘Terompet Masyarakat’.
Lalu, dia sempat menjadi eks tahanan politik (eks-tapol) yang diasingkan di pulau Buru sejak adanya pemberontakan G30S/PKI 1965 karena tulisannya yang dianggap mengkritik pemerintah.
Setelah mendekam di penjara sekitar 13 tahun, Hwie akhirnya dibebaskan pada tahun 1979 dan bertemu dengan Haji Masagung, Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan Perpustakaan Yayasan Idayu.
Hwie pun akhirnya mendapat pekerjaan sebagai sekretaris pribadi Haji Masagung.
Selama bekerja bersama Haji Masagung, Hwie melanjutkan kesenangannya mengkliping koran dan mengoleksi berbagai buku dan majalah yang ada di Indonesia.
“Terus, gak lama setelah itu beliau dipasrahi untuk memegang CV Gunung Agung Jawa Timur yang kantor pusatnya di Surabaya,” ujar Didin saat ditemui Kompas.com, Selasa (12/8/2025).
Sampai sekitar tahun awal 2000-an, Hwie bertemu degan teman dari komunitas Tionghoa yang memiliki ide mengembangkan koleksi buku-buku di perpustakaan pribadinya agar lebih besar dan dapat dibaca masyarakat.
“Kebetulan Pak Hwie bertemu teman-temannya yang jiwa sosialnya tinggi dan juga bisa dibilang cukup berkelimpahan harta, akhirnya tercetuslah ide untuk membuat perpustakaan,” tuturnya.
Akhirnya, Hwie bersama teman-temannya memutuskan mendirikan perpustakaannya sendiri yang kini bernama Medayu Agung pada tahun 2001.
“Dulunya itu masih ngontrak di rumah kecil di Jalan Badagan, Kecamatan Genteng. Tapi, karena koleksi semkain banyak dan tempatnya gak cukup akhirnya pindah ke sini tahun 2004,” paparnya.
Perpustakaan yang sudah berdiri 24 tahun itu, kini terdapat ribuan koleksi buku Soekarno, Adam Malik hingga buku asli tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer.
Selain itu, perpustakaan ini juga menyimpan ratusan koran terbitan berbahasa Indonesia dan Mandarin tahun 1959-1980.
Di antaranya Suara Rakjat, Pewarta Soerabaia, Api Pantjasila, Ampera, Suluh Indonesia, Manifesto, Kengpo, Kedaulatan Rakyat, Djawa Pos, Surabaja Post, hingga Merdeka.
Hampir semua manuskrip kuno dan kliping karya Hwie juga berjejer tersimpan rapi di setiap sudut rak kayu tua itu.
Tak hanya itu, dari awal masuk pengunjung dapat langsung melihat berbagai koleksi poster, lukisan, foto, hingga barang-barang antik personal milik Soekarno.
“Pak Hwie itu kan juga fans nya Bung Karno ya, jadi memang banyak koleksi barang di sini yang berhubungan sama Bung Karno,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Didin, motto yang selalu dipegang Hwie dalam mendirikan perpustakaan tersebut yakni “nation and character building”, merupakan kata-kata Bung Karno yang bermakna mencerdaskan dan membangun karakter bangsa agar menjadi generasi bermutu.
Oleh karenanya, perpustakaan Medayu Agung juga mulai memasukkan koleksinya ke dalam produk digital yang dapat diakses melalui media sosial.
“Jadi kalau ada buku baru juga selalu kita update, pengunjung bisa melihat koleksi kita di situ ada apa aja,” sebutnya.
Perpustakaan Medayu Agung buka setiap Senin sampai Jumat mulai pukul 09.00-14.00 WIB. Sementara hari Sabtu buka pukul 09.00 – 13.00 WIB.
“Kita juga biasanya seringkali mengadakan pameran untuk memperkenalkan koleksi buku-buku kita, nanti tanggal 22 Agustus mendatang kita juga akan ada pameran di C2O Library & Collabtive,” ucapnya.
Ia berharap melalui langkah kecil dengan keberadaan perpustakaan Medayu Agung itu dapat menumbuhkan kesadaran minat baca masyarakat Indonesia.
“Karena kalau enggak dari diri pribadi itu bakal susah (untuk menumbuhkan minat baca), jadi memang gimana caranya kita harus ada tempat yang nyaman untuk menumbuhkan kesadaran itu,” pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/13/083302578/jejak-kisah-di-balik-perpustakaan-medayu-agung-eks-tahanan-politik