Itulah suasana Minggu (10/8/2025) pagi di Alun-alun Lumajang. Sebuah komunitas membaca bernama "Majang Buku" berhasil menciptakan sudut damai di tengah keramaian.
Dengan memajang buku-buku koleksi pribadi mereka, mereka mengundang siapa pun untuk singgah, membaca, dan bertukar cerita, menjadikan akhir pekan lebih bermakna.
Berawal dari empat pemudi yang kutu buku, kini ada ratusan pasang mata yang kembali membuka bukunya untuk melihat luasnya dunia.
Cari teman sehobi
Gerakan Majang Buku berawal dari keresahan empat pemudi asal Lumajang bernama Rizka Ayu Kartini (27), Shabila Fandyta (25), Fitri Maghfirotul Rohmah (27), dan Rosalia Wulan (27).
Mulanya, empat sekawan ini ingin menemukan teman-teman baru yang sehobi dengan mereka yakni membaca buku.
Namun, beberapa kali berkunjung ke perpustakaan daerah, Rizka dan teman-temannya jarang sekali melihat orang yang tengah duduk sambil membaca buku di sana.
Mereka tak percaya dari ratusan ribu penduduk Lumajang tak ada yang suka membaca buku.
"Kita kan suka baca buku dan buku kita itu banyak. Terus coba ke perpustakaan nyari teman yang sama-sama suka baca buku. Kok ternyata yang ke perpustakaan itu hanya sedikit malah kadang enggak ada."
"Masa sih orang enggak ada yang suka baca buku di Lumajang?" cerita Rizka sambil terheran-heran, Minggu (10/8/2025).
Di tengah keraguannya itu, Rizka dan tiga temannya mencoba menginisiasi membuka lapak baca di Alun-alun Lumajang setiap Minggu pagi.
Berbekal tikar dan tumpukan koleksi bukunya di rumah, mereka mencoba membuat perpustakaan mini yang diberi nama piknik buku.
Ternyata, peminatnya cukup banyak. Biasanya, pengunjung car free day (CFD) yang sudah selesai berolahraga akan mampir untuk beristirahat sambil membaca beberapa koleksi buku.
"Ternyata banyak juga orang-orang di Lumajang yang suka baca buku, tapi ya di rumah aja, enggak ke perpustakaan gitu," kata Rizka.
Rata-rata, warga Lumajang yang gemar membaca buku ternyata lebih memilih membaca di rumah dibandingkan dengan perpustakaan karena lebih santai.
Selain itu, kata Rizka, kebanyakan para pembaca buku mengaku koleksi buku di perpustakaan daerah kurang kekinian. Ini membuat mereka memilih membeli buku sendiri atau membaca buku digital.
"Alasannya sih ya mungkin karena buku-buku di perpustakaan katanya kurang update kata mereka, makanya lebih suka kayak beli buku sendiri atau baca buku di aplikasi digital," ungkapnya.
Dari piknik buku ke diam-diam baca
Usia komunitas Majang Buku sebenarnya masih sangat muda. Didirikan sejak Februari 2024. Namun, semangat aktivisnya terus membara.
Tidak puas dengan kegiatan piknik buku, komunitas Majang Buku mulai menyasar pecinta buku dengan jangkauan lebih luas memanfaarkan kecanggihan teknologi.
Gerakan barunya bernama "Diam-diam Baca". Idenya adalah membaca bersama-sama meski terpisah oleh ruang.
Selama 30 menit, mereka membaca bersama-sama memanfaatkan aplikasi zoom meeting dan dilanjutkan dengan diskusi tentang apa yang telah dibaca.
"Program onlinenya itu kita punya namanya diam-diam baca," ujarnya.
"Itu kita baca senyap 30 menit tanpa distraksi gadget, tanpa ke toilet, kita timer bareng-bareng di Zoom gitu dan harus on cam, semua baca buku 30 menit, terus setelah baca kita sharing-sharing, tadi bacaannya gimana, terus rekomendasi bacaan, diskusi buku."
"Itu tiap bulan, anggotanya sudah banyak sih, dari banyak kota gak hanya Lumajang. Di grup WA sudah 300-an orang," lanjutnya.
Selain diam-diam baca, ada juga program yang diinisiasi memanfaatkan kemajuan teknologi yakni "Klub 5 Pagi".
Idenya mengajak orang untuk menyempatkan membaca buku meski hanya 5 menit setiap hari.
"Kita juga ada klub 5 pagi. Baca buku tiap jam 5 pagi selama 5 menit, terus progresnya diupload ke Instagram story. Itu juga pesertanya banyak, enggak hanya dari Lumajang aja, tapi dari banyak kota di Indonesia," tuturnya.
Ingin terbitkan buku
Tak hanya membaca, Rizka dan anggota komunitas Majang Buku juga punya keinginan suatu saat bisa membuat buku sendiri.
Ide ini telah dirintis dengan membuat program Teralis atau temu, bicara tulis. Program ini mengajak para penikmat buku untuk juga belajar menulis.
Tujuannya, suatu saat para pembaca buku ini tidak hanya membaca tapi bisa menyajikan tulisan yang bisa dibaca orang lain.
"Di situ kita free writing. Ada materinya dulu, misalnya tentang apa, ada materi dari mentornya dulu 15 menitan, baru setelah itu kita nulis dikasih temanya, terus saling diskusi hasil tulisan. Tujuannya ya nanti kepengen bikin buku antologi," jelasnya.
Parkir pikir
Majang Buku juga tengah menyiapkan program tahunan yang diberi nama Parkir Pikir.
Rencananya, program ini akan digelar pada Oktober 2025, bersamaan dengan peringatan bulan bahasa dan hari kesehatan mental sedunia.
Konsepnya seperti kelana rasa, mengajak peserta berpetualang sambil menyelesaikan misi-misi yang dirancang khusus.
Misi-misi itu bukan sekadar teka-teki, melainkan jembatan yang menghubungkan kita dengan dunia buku dan kedalaman diri sendiri.
Di setiap pos, peserta akan menemukan tugas-tugas literasi yang mengasah kreativitas dan pemahaman, serta misi psikologi yang dirancang untuk membuka ruang refleksi.
Tujuannya sederhana, menjadikan membaca sebagai terapi, dan memahami diri sebagai bagian dari proses literasi.
"Oktober itu selain bulan bahasa ada hari kesehatan mental se-dunia, jadi kita rayain dengan kelana rasa."
"Intinya jalan-jalan, tapi berhenti di pos-pos untuk ngerjain misi literasi sama misi tentang psikologi, nanti juga ada talk show dan journaling lagi dari psikolog," ceritanya antusias.
Tantangan
Sebagai komunitas non-profit, tantangan terbesar para aktivis literasi Majang Buku adalah soal pendanaan.
Selama ini, mereka bergerak dengan dana pribadi dan tak jarang mencari sponsor untuk mendukung gerakan-gerakan inovatif yang dibuat.
"Tantangannya mungkin lebih ke pendanaan, kalau peminat sih sebenarnya banyak," kata Rizka.
Keterbatasan anggaran membuat regenerasi komunitas ini sedikit macet. Sebab, tak banyak relawan yang mau meluangkan waktu untuk kegiatan yang tak dibayar meski sifatnya positif.
"Karena ini gerakan sukarela jadinya orang-orangnya terbatas kan, kalau sebagai peserta pasti banyak, sering berganti orang-orang, cuman kalau sebagai panitia itu kita cuman berapa orang gitu, enggak sampai 10 lah," ucapnya prihatin.
Padahal, bagi sebuah organisasi, regenerasi hukumnya wajib agar nilai-nilai gerakan itu tetap hidup.
Selain regenerasi, tantangan lain yang lebih teknis seperti tidak adanya basecamp juga jadi tantangan yang harus dihadapi pejuang literasi ini.
Tidak adanya markas membuat mereka harus menyimpan ratusan buku-buku koleksinya di dalam tas. Sedangkan, situasi ini membuat buku jadi mudah rusak.
"Kita juga enggak punya basecamp. Jadi tantangannya buku kita yang 300 itu benar-benar harus kita taruh di tas, kan itu rawan rusak kadang kita taruh di kamarnya pengurusnya itu."
"Belum lagi bawanya kan juga susah misalnya harus bawa banyak buku," keluhnya.
Pererat silaturahmi demi jaga semangat
Di balik tantangan yang cukup berat itu, Rizka dan kawan-kawan mengutamakan jalinan persaudaraan yang kuat. Tujuannya agar Majang Buku bisa tetap hidup.
"Biasanya ini sih, kita pakai pendekatan personal aja, diajak ngobrol aja, terus kalau mereka ulang tahun kita rayain kecil-kecilan, jaga semangatnya, sering ngobrol-ngobrol dan ngumpul bareng gitu," tuturnya.
Rizka berharap, komunitas Majang Buku akan terus hidup dengan generasi baru yang lebih kreatif dan semangat.
Saat ini, Rizka dan teman-temannya tengah fokus mengajak para siswa giat membaca buku dan punya semangat seperti mereka.
"Harapannya sih Majang Buku terus ada dan ada regenerasi kepengurusan."
"Makanya itu kita coba untuk masuk ke SMA-SMA karena di sini pasti kan mereka yang melanjutkan gerakan komunitas ini, mewujudkan program literasi yang menyenangkan dan berkelanjutan," pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/11/055738678/mengenal-majang-buku-komunitas-baca-di-lumajang-yang-ubah-jalanan-jadi