Namun, sejak viralnya kasus pemutaran musik di ruang publik yang dikenai royalti, para pelaku usaha pun mulai berpikir ulang.
Seperti diketahui pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan musik yang diputar di ruang publik harus berlisensi dan wajib membayar royalti.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” ujar Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI beberapa waktu lalu.
Taat Aturan, tapi Kehilangan Fleksibilitas
Seperti di sudut kota Malang, Dekker Koffie mengambil langkah sunyi karena tidak ingin mengambil risiko atas keputusan tersebut. Langkah ini diambil tanpa ada surat resmi atau arahan pemerintah. Hanya berdasar berita dan kabar yang berseliweran.
“Kalau dari kita sendiri sudah per 1 Agustus kemarin mutar lagu luar saja,” kata Arya Dwiffa, marketing kafe tersebut kepada Kompas.com, Selasa (5/8/2025).
“Sejauh ini belum ada penyampaian atau sosialisasi resmi. Kita hanya inisiatif mengikuti informasi yang beredar,” imbuhnya.
Namun, dampaknya tetap terasa. Sebab, playlist yang biasa diputar acak dari Spotify kini harus lebih selektif dan tidak semua lagu bisa diputar.
“Bedanya, kita jadi sedikit kurang fleksibel kalau ada customer yang request lagu tertentu, karena pilihan jadi terbatas,” ujar pria asal Malang itu.
Langkah semua ini, rupanya dimulai dari dorongan kecil dari sang pemilik. Untuk itu, di balik langkah hati-hati ini, Arya Dwiffa menyimpan harapan besar bahwa aturan ini jangan membingungkan dan tidak terlalu membebani usaha kecil.
“Harapannya, aturan royalti ini bisa dibuat lebih jelas dan mekanismenya dipermudah, supaya coffee shop tetap bisa memutar lagu-lagu yang disukai pegawai maupun customer tanpa terkendala aturan yang membingungkan,” katanya.
Pilih Aman dan Tetap Ramai
Sementara itu, di kota lain, suara musik di sebuah kedai yang berada di sudut mal legendaris Tunjungan Electronic Center (TEC) Surabaya juga berubah.
Galih Phuja Ardian, pemilik Kedai Lima Sembilan itu, sudah sejak dua bulan lalu memilih hanya memutar No Copyright Sound (NCS).
Bukan karena ditegur, bukan karena diperingatkan. Hanya karena takut meski keheningan berlisensi ini tidak menggoyahkan minat pelanggan.
“Lebih ke parno aja sih. Saya lihat-lihat di TikTok kok kedai atau kafe daerah Jabodetabek banyak yang kena makanya saya langsung mutusin buat muter NCS,” kata pria asal Semolowaru, Surabaya, itu kepada Kompas.com.
“Sebenarnya enggak pengaruh ke penjualan soal musik. Cuma biar ada ambience aja saya muterin no copyright sound,” imbuhnya.
Sebagai pekerja kreatif, ia sebenarnya mendukung gerakan ini. Tapi lagi-lagi, ia menyayangkan soal penyampaian informasi yang terasa seperti badai mendadak.
“Bagus kalau di Indonesia sudah mulai mengaplikasikan copyright dengan baik. Karena saya juga pekerja kreatif jadi mendukung juga adanya pemungutan copyright oleh LMK. Tapi sepertinya sosialisasinya kurang menyeluruh yaa. Karena tahunya juga mendadak lewat sosial media setelah kasus Mie Gacoan viral,” tutur Galih Phuja Ardian.
Untuk itu, ia merasa UMKM belum sepenuhnya siap. Tapi itu bukan berarti tidak mau taat. Menurutnya, selama musik bebas royalti tidak mengganggu penjualan, itu adalah kompromi terbaik saat ini.
“Awalnya kami mengira hanya perusahaan besar yang disasar, tapi ternyata UMKM pun juga bisa kena sidak LMK. Jadi kami putar NCS saja,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai fotografer dan konsultan branding itu.
“Toh dengan memutar NCS tidak berpengaruh ke penjualan dari kedai. Kecuali suatu saat scope dari Kedai 59 sudah besar, mungkin kami mampu untuk memutar musik dengan membayar royalti sesuai undang-undang. Tapi untuk sekarang masih belum mampu,” pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/06/080958478/ketika-lagu-tak-lagi-gratis-kafe-di-malang-dan-surabaya-lebih-selektif