Selama ini, warungnya menjadi tempat singgah bagi para pelintas jalur tersebut, meski jumlahnya tidak banyak.
Lantaran jalur ditutup, Nenek Asmadi kehilangan sumber pendapatan utama.
Dalam dua pekan terakhir, aktivitas harian Nenek Asmadi berubah drastis.
Setiap pagi, ia pergi ke kebun untuk mencari biji kopi yang jatuh dari pohon milik orang lain, dalam istilah Jawa disebut 'ngasak'.
“Ya untung pas lagi musim panen kopi,” ujar Nenek Asmadi dengan senyum berat di depan warungnya, Selasa (5/8/2025).
Ia menegaskan bahwa dirinya selalu meminta izin kepada pemilik kebun sebelum mengambil sisa biji kopi.
Jika tidak diizinkan, ia terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup.
Perempuan berusia hampir 60 tahun ini mengakui bahwa mencari biji kopi di kebun yang memiliki kemiringan sekitar 60 derajat bukanlah hal yang mudah.
Ia harus melewati berbagai rintangan, termasuk pepohonan dan kebun demi kebun, untuk menemukan biji kopi yang tercecer.
Setelah seharian bekerja, Nenek Asmadi pulang sekitar pukul 13.00 WIB dengan karung kecil yang biasanya tidak terisi lebih dari satu kilogram biji kopi.
“Namanya juga 'ngasak', sulit mendapatkan biji kopi yang masih kinyis-kinyis, banyak yang sudah hitam. Tapi bagi saya, itu tetap rezeki,” tuturnya.
Biji kopi kering yang ia kumpulkan dijual dengan harga Rp 32.000 per kilogram, jauh lebih rendah dibandingkan harga pasaran yang bisa mencapai Rp 50.000 di tingkat petani.
Penjualan biji kopi tidak bisa dilakukan setiap hari, sehingga ia harus hidup dengan sangat hemat agar dapur tetap bisa mengepul.
Nenek Asmadi dan suaminya telah menetap di warung tersebut sejak 2004.
Meski warungnya tutup, ia tidak mengeluh tentang penutupan jalan nasional yang mengakibatkan hilangnya penghasilan.
“Biarin, bagaimana lagi, nanti jalan dibuka, jualan lagi,” ungkapnya pasrah.
Penghasilan dari warungnya berkisar antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per hari, dan bisa mencapai Rp 100.000 jika ramai.
Nenek Asmadi tinggal di rumah kecil di samping warungnya, yang terkadang dikunjungi anak dan cucu untuk menghilangkan kesepian.
Kebanyakan warung di jalur Gumitir juga berfungsi sebagai rumah bagi pemiliknya.
Ketika malam tiba, suasana menjadi gelap karena tidak ada listrik, dan mereka hanya mengandalkan aki untuk penerangan.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/05/214628578/kisah-nenek-asmadi-pemilik-warung-yang-gantungkan-hidup-dari-ngasak-sisa