KOMPAS.com - Di balik kesuksesan depot dan sambal Bu Rudy yang kini menjadi ikon kuliner Surabaya, tersimpan kisah luar biasa dari sosok sederhana bernama Lanny Siswadi atau yang akrab disapa Bu Rudy.
Perjalanan hidupnya bukan hanya soal merintis usaha kuliner dari nol, tetapi juga tentang ketekunan, cinta pada pekerjaan dan semangat berbagi yang tidak pernah padam, bahkan setelah puluhan tahun berkarya.
Lahir di Madiun pada 10 Oktober 1953, Bu Rudy tumbuh dalam suasana serba kekurangan. Masa kecilnya tidak mudah, ia hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD.
Namun, keterbatasan pendidikan tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk bekerja.
Sejak kecil, ia sudah akrab dengan kerasnya hidup. Tahun 1955, saat situasi politik dan ekonomi tengah bergejolak, ia membantu tetangga-tetangga demi mendapatkan sesuap nasi.
Tidak ada uang sebagai upah, hanya makanan yang dibawa pulang dengan penuh syukur.
“Saya dari kecil sudah berkecimpung dengan usaha di pasar, jadi seluk-beluk pasar saya tahu betul. Dari pengalaman dan semangat, saya bisa seperti ini."
"Dulu saya bantu orang sekadar dapat nasi, sekarang saya bisa bantu orang lain untuk hidup,” tuturnya kepada Kompas.com.
Sebelum mendirikan Depot Bu Rudy, ia sempat menekuni bisnis sepatu di Pasar Turi.
Dua puluh tahun ia berjualan di sana, namun musibah kebakaran pada 1995 menghanguskan seluruh barang dagangannya. Alih-alih menyerah, dengan sisa semangat yang tersisa ia memilih bangkit dan mulai lagi dari nol.
“Awalnya saya jual nasi pecel karena saya orang Madiun, lalu sambalnya muncul karena Pak Rudy hobi mancing. Masakan sederhana tapi dari hati,” kata Bu Rudy.
Jadi, usahanya yang mampu bertahan hingga 30 tahun ini bukan hanya resep sambal legendarisnya, tetapi juga dedikasi yang dijaga sejak hari pertama.
Sampai saat ini sudah ada tujuh cabang tersebar di Surabaya dan Gresik yang semuanya dikelola oleh keluarga sendiri, termasuk para menantunya. Menjaga rasa adalah prinsip yang tak boleh dilanggar.
“Kalau model franchise uangnya mungkin sudah miliaran, tapi saya ingin jadi legenda cukup di Surabaya saja. Kualitas tetap dijaga," ucap ibu dari 4 orang anak ini.
"Banyak pelanggan yang sudah lama tinggal di luar kota, datang ke sini dan bilang, ‘Bu Rudy, rasa masakannya masih seperti dulu. Bahkan Pak SBY pernah bilang lodehnya enak,” imbuhnya.
Menurutnya bukan hanya mempertahankan cita rasa, tetapi juga menjaga hubungan dengan pelanggannya dari berbagai kalangan.
Untuk itu dengan berkembangnya Depot Bu Rudy ini, ia ingin semua orang merasa nyaman dan tidak terintimidasi oleh kemewahan tempat.
“Saya sebut tempat ini depot, bukan restoran. Kalau dibilang restoran, orang jadi mikir mahal. Padahal semua kalangan bisa makan di sini,” katanya.
Kecintaannya pada pekerjaan membuatnya tidak pernah betah berdiam diri.
Meski saat ini bisnisnya mapan, ia tetap turun tangan setiap hari di depot meski dibantu 90 pegawai yang dipekerjakan saat ini. Jadi, ia merasa memiliki tanggung jawab sosial yang besar.
“Kalau saya tidak turun sendiri, saya tidak tahu apa yang harus dipersiapkan untuk besok,” ujar Bu Rudy.
“Dulu pegawai saya hanya beberapa, sekarang sudah 90 orang. Kalau tidak ramai, tidak laku, bagaimana saya menggaji mereka? Jadi kalau tambah rame, saya malah senang,” sambungnya.
Selain itu ia juga dikenal sangat dekat dengan para mitra pengantaran walaupun tidak jarang mendapatkan komentar negatif yang datang.
“Saya tidak menyimpan perkataan orang. Saya terima, lalu ya sudah. Yang penting saya tetap kerja positif,” kata perempuan yang selalu berpenampilan rapi ini.
Kini Bu Rudy juga aktif di media sosial. Menurutnya hal tersebut bukan untuk pamer, tapi untuk memberi contoh nyata agar generasi muda melihat kerja keras adalah kunci, bukan hanya sekadar tren sesaat.
“Bukan untuk pamer harta, tapi membuktikan kerja nyata. Dulu tidak ada yang bisa dijadikan contoh, sekarang buka HP saja sudah bisa belajar,” imbuhnya.
Untuk itu Bu Rudy mengajarkan bahwa keberhasilan tidak selalu berasal dari teori atau pendidikan tinggi, melainkan dari pengalaman dan kemauan untuk bekerja keras.
Hubungan kekeluargaan dengan para pegawai menjadi fondasi penting dalam perjalanan usahanya.
“Saya sendiri yang racik masakan, saya ajarkan ke karyawan satu-satu. Dan syukurnya saya dapat karyawan yang sehati,” ujar perempuan yang dijuluki Ibu UMKM.
Kini ketika usaha kuliner di Surabaya bermunculan setiap saat, ia tetap tenang dan percaya bahwa kualitas akan berbicara sendiri. Tanpa gembar-gembor promosi berbayar, nama sudah menjadi magnet tersendiri di Kota Surabaya.
“Saya tidak perlu promosi besar-besaran. Mulut ke mulut itu lebih ‘jos’,” tegas Bu Rudy.
“Saya tidak pernah berpikir akan sampai titik ini. Semua berjalan sendiri, rezeki tidak bisa ditolak.”
“Yakin, mencintai pekerjaan, dan berdoa. Kalau baik, pasti dikabulkan. Kadang saya sendiri heran bisa sampai di titik ini,” pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/07/23/165608378/depot-dan-sambal-bu-rudy-resep-kesuksesan-dari-dapur-kehidupan-yang