Salin Artikel

Tren Main Layangan di Surabaya Melejit, Para Petarung Adu Ketangkasan di Bawah Senja

SURABAYA, KOMPAS.com - Akhir-akhir ini langit di sekitar wilayah Surabaya banyak dipenuhi warna-warni layangan yang menghiasi panorama senja.

Dengan mendongak, ratusan masyarakat asyik menarik ulur seutas benang tipis sembari berlarian di lahan kosong sekitar area Pondok Candra, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Jumat (18/7/2025).

Sudah sekitar tiga minggu terakhir, lokasi yang menjadi daerah perbatasan Surabaya dan Sidoarjo itu ramai dikunjungi khalayak dari berbagai kalangan.

Tak sekedar menerbangkan layangan, para pemain juga kerap kali bertarung mempertahankan layangan siapa yang paling lama bertahan terbang hingga benangnya terputus atau jatuh ke tanah.

Ketika terlihat ada yang jatuh, puluhan pemain langsung berlarian berebut mengambil laying-layang itu dengan menggunakan joran.

“Hee.. hee… layangane lugur (layangannya jatuh),” teriak segerombolan pemain sembari berlari menuju layangan yang jatuh karena benangnya putus.

Ada beberapa pemain yang membawa asisten. Satu orang memainkan benang mengarahkan layangan, satu lainnya memegang kaleng utas benang. Sementara para single fighter bertarung sendirian, mengarahkan layangan sambil memegang utas benang.

Seperti halnya Rizal, bocah 9 tahun yang sedari tadi berusaha sendirian untuk menerbangkan layangannya ke udara, tapi selalu gagal.

“Zah, tolong pegangin layangane lagi (Tolong dipegang lagi layangannya),” pintanya kepada sang adik yang baru berumur 5 tahun.

Sebelum bermain di tanah lapang itu, Rizal mengaku juga sudah sering beradu layangan dengan teman-temannya di kawasan pematang sawah di sekitar rumahnya.

“Aku biasanya juga ajak teman-teman sekolahku main juga kok. Wee.. terbang,” ucapnya dengan senyuman yang merekah setelah berhasil menerbangkan layang-layang.

Ia menuturkan bahwa menemukan lahan kosong di tengah kota metropolitan bak menemukan emas yang sangat berharga di antara pasir hitam.

“Sekarang itu menemukan lahan kosong seperti ini seperti menemukan emas berharga di antara pasir hitam, padahal hanya untuk bermain layangan,” ucapnya saat ditemui Kompas.com, Kamis (17/7/2025).

Ditambah lagi di tengah era kemunculan teknologi dan melesatnya penggunaan gadget, bermain layang-layang menjadi salah satu sarana untuk menyingkirkan distraksi dan kecanduan gadget, serta lebih mendekatkan diri dengan alam.

“Apalagi saya kan orang Sidoarjo, keluarga juga sama, enggak punya desa. Kalau ada yang banyak main layang-layang seperti ini kan juga bisa sesekali membuat Rizal tidak terlalu kecanduan gadget, biar lebih dekat sama alam juga,” ujarnya.

Genta (14) mengungkapkan, pertama kali mengetahui tren bermain layangan itu dari media sosial.

“Ya tahunya dari medsos (media sosial), terus diajakin sama teman-teman main di sini,” terang Genta.

Sudah tiga hari terakhir setiap sekitar pukul 16.00 WIB, dia bersama teman-temannya menjajakan kaki di tengah hamparan rumput sambil berlarian ke sana-sini mempertahankan posisi layangannya.

Ia hanya perlu mengocek harga Rp 2.000 per layangan dan Rp 13.000 untuk benang gelasan.

“Kalau ini aku belinya Rp 2.000 an, ya nanti kalau layangannya rusak atau benang putus tinggal beli lagi atau giliran sama teman,” ungkapnya.

Dirinya mengaku senang karena akhirnya bisa bermain dengan leluasa, setelah selama ini hanya bisa menerbangkan di sekitar area rumah.

“Sebenarnya kalau main hampir setiap hari di sekitar rumah, tapi karena tempatnya enggak begitu luas cuma gang kecil gitu aja, jadi layangannya gampang jatuh,” ujarnya.

Tak hanya anak-anak atau remaja saja, tetapi juga banyak orang dewasa yang ikut berpartisipasi memainkan seutas benang dan bambu itu.

Salah satunya Andrea (33), warga Tambaksawah, Sidoarjo. Dia mengaku baru saja pulang bekerja dan memutuskan untuk bermain layang-layang sebagai sarana melepas penat.

“Ini saya habis pulang kerja. Capek, Mbak. Setelah kerja seharian ingin refreshing seengaknya satu dua jam cukup,” kata Andrea yang masih memakai seragam kantor.

Menurutnya, keseruan bermain layangan terletak pada saat antar pemain saling bertanding mempertahankan layangannya agar tidak terjatuh atau benang putus.

“Nanti biasanya kalau ada yang jatuh kita berebut mengambil. Biasanya layangan yang besar-besar itu makin diincar. Kalau dapat nanti dikoleksi saja,” ucapnya.

Meskipun begitu, satu hal yang membuatnya kesal karena masih banyaknya masyarakat bermain layangan dengan sembarang sehingga seringkali rantai motornya terlilit benang layangan.

“Pernah tiba-tiba helm saya kesangkut benang layangan, paling sering rantai motor ini kelilit benang, jadinya susah gerak dan harus diudari (dilepaskan), kan bikin lebih mudah rusak,” terangnya.

Ia berharap fenomena bermain layangan ini tidak hanya menjadi tren sekejap, tapi ada tindak lanjut dari pemerintah setempat.

“Ya bisa lebih dikembangkan lagi lah, diteruskan, jangan hanya berhenti di musim kemarau saja,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/07/19/113444378/tren-main-layangan-di-surabaya-melejit-para-petarung-adu-ketangkasan-di

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com