Diketahui, Pemkot Surabaya pernah menerapkan kebijakan serupa pada tahun 2022.
Saat itu, kebijakan ini dianggap cukup efektif mengatasi maraknya geng motor.
Parlaungan Iffah Nasution atau yang akrab disapa Ucok juga menilai bahwa kebijakan ini merupakan langkah positif.
Karena, dalam implementasinya tidak hanya kebijakan publik ini melibatkan partipasi banyak pihak bahkan tingkatan RT/RW atau kelompok akar rumput lainnya.
“Tapi yang perlu dipastikan, tidak hanya bersifat konsultatif. Jangan sampai masyarakat hanya dimintai saran masukan tapi tidak dilibatkan,” kata Ucok, Selasa (24/6/2025).
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengimplementasikan kebijakan ini salah satu tujuannya adalah meminimalisir maraknya kenakalan remaja di Kota Pahlawan.
Menurut Ucok pembatasan jam malam bukan menjadi solusi tunggal dalam mengatasi masalah kenakalan remaja.
“Kalau istilah kami, weakened problems. Masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan oleh satu pihak saja,” ungkap akademisi asal Pamekasan, Jawa Timur ini.
Sehingga, perlu ada kebijakan lain yang mendorong keberhasilannya.
Misalnya, menguatkan pembinaan kepada orang tua dan masyarakat.
Oleh sebab itu, Ucok menganggap bahwa kebijakan ini tidak hanya berfokus pada jam malam.
Tetapi bagaimana peran orang tua dan masyarakat dalam melakukan pembinaan dan menumbuhkan pola hidup baru.
“Jangan sampai bias. Mau jam 9, 10, atau 11, kalau fokusnya tidak pada pembinaan yang melibatkan program lain, saya kira kebijakan ini sama saja,” tegas akademisi lulusan Georgia State University, Amerika Serikat tersebut.
Menurutnya, kenakalan remaja seringkali dipicu kurangnya peran orangtua dalam memberikan ruang dan pembinaan positif kepada anak.
“Jadi orang tua memiliki pengawasan penuh terhadap aktivitas anak terutama di malam hari di luar jam sekolah,” tuturnya.
Kendati demikian, Ucok menegaskan bahwa kebijakan ini bukan sebagai peringatan kepada orang tua tetapi meningkatkan kesadaran bahwa pembinaan karakter bukan sepenuhnya tanggung jawab sekolah.
“Yang utama adalah aktornya orang tua melalui gerakan akar rumput. Bagaimana keterlibatan RT/RW mengkomunikasikan kebijakan ini kepada orang tua, ini yang menjadi tantangannya,” bebernya.
Apabila dalam implementasinya tidak cukup mengatasi masalah kenakalan remaja di Surabaya, Pemkot wajib mengevaluasi secara menyeluruh semua pihak yang terlibat.
“Seluruh program tentang pembinaan remaja, pembinaan anak, itu harus dievaluasi. Karena indikator-indikator Surabaya sebagai Kota Layak Anak itu harus dievaluasi semua,” terangnya.
Karenanya, Ucok mendorong agar Pemkot Surabaya juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk berbagi peran, saling berkolaborasi mengatasi masalah ini.
“Bagaimana keduanya berkolaborasi, berkomunikasi agar kemudian pemerintah datang dengan program A LSM datang dengan program B, dari pihak komunitas mensupport dengan program C. Jadi saya kira itu kolaborasi antar sektor yang harus didorong,” pungkasnya
https://surabaya.kompas.com/read/2025/06/24/113827578/pakar-pembatasan-jam-malam-anak-di-surabaya-bisa-diimbangi-dengan-peran