EY diduga mencabuli korban saat ritual doa bersama yang dilakukan di dalam kamar.
Ironisnya, ritual tersebut diizinkan oleh ibu korban.
Karolin Rista, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, menyampaikan rasa prihatin mendalam tidak hanya untuk korban, tetapi juga untuk orangtuanya.
"Orangtua adalah lingkungan terdekat dalam perkembangan anak, mereka seharusnya menjadi benteng pertama. Sangat menyedihkan ketika fungsi ini justru tidak dijalankan," ujar Karolin pada Kamis (24/4/2025) malam.
Karolin juga menyoroti fenomena masyarakat yang cenderung memuja tokoh-tokoh masyarakat secara berlebihan.
Dalam kasus ini, orangtua seolah kehilangan kewaspadaan, karena terlalu mengagungkan pelaku yang dianggap sebagai tokoh agama.
"Kalau menilai secara wajar, tidak mungkin ada orangtua yang tidak waswas anak perempuannya berdua dengan lelaki dewasa di dalam kamar," tegas Karolin.
Menurutnya, rasa kagum yang tidak ditempatkan secara proporsional, bisa mengaburkan akal sehat dan kewaspadaan dasar, termasuk naluri alami seorang ibu.
"Pemuka agama maupun tokoh masyarakat patut dihormati, tapi secukupnya. Hormat tidak berarti melepas kewaspadaan. Ini bahaya besar ketika pujian berlebihan menghilangkan rasa logis dan aman bagi anak-anak kita," tambahnya.
Karolin juga mengajak masyarakat Indonesia untuk belajar bijak dalam menilai dan menempatkan seseorang sesuai porsinya.
"Dengan begitu, kita bisa tetap objektif dalam melihat perlakuan orang lain, siapa pun itu. Ini pelajaran mahal agar kita tidak menyesal di kemudian hari," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Komentar Psikolog Untag Surabaya Soal Kasus Pencabulan Anak di Mojokerto : Berhenti Memuja Tomas.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/04/25/130037378/kasus-dukun-perkosa-anak-sd-psikolog-masih-heran-kok-bisa-orangtua-izinkan