KOMPAS.com - Mbok Yem, perempuan bernama lengkap Wakiyem yang dijuluki sebagai "Legenda Gunung Lawu," meninggal dunia pada Rabu (23/4/2025).
Pemilik warung legendaris di puncak Lawu itu turun gunung pada Maret lalu karena sakit.
Ia sempat dirawat di RSU Aisyiyah Ponorogo.
Nama Mbok Yem mungkin sudah tidak asing bagi pendaki Gunung Lawu.
Saat ia sakit pun, sejumlah pendaki mendatangi rumah sakit untuk menjenguknya.
Mereka mendoakan kesembuhan Mbok Yem.
Mengenal Mbok Yem
Mbok Yem mengelola warungnya sejak 1980-an.
Warung tersebut berada di ketinggian 3.150 mdpl atau hanya berselisih 115 mdpl dari puncak Gunung Lawu.
Mbok Yem mengaku tidak sendirian ketika berjualan. Ia dibantu kerabatnya.
Untuk stok barang ke warungnya, ia dibantu orang yang mengantarkan barang-barang tersebut tiga kali dalam seminggu.
Saat sakit Maret lalu pun, warung Mbok Yem tetap buka.
Di warung itu, Mbok Yem tinggal. Biasanya, ia turun gunung sewaktu Lebaran.
Menurut Mbok Yem, momen 17 Agustus dan bulan Suro menjadi waktu Gunung Lawu dipadati pendaki.
Saat itulah warungnya kebanjiran pembeli.
Momen Mbok Yem ditandu
Di usianya yang telah lanjut, Mbok Yem harus menggunakan alat bantu untuk naik dan turun gunung. Biasanya, dia menggunakan tandu.
Video detik-detik Mbok Yem ditandu sempat viral di media sosial. Mbok Yem selalu turun gunung untuk merayakan Lebaran bersama keluarga besarnya di Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Namun tahun ini, Mbok Yem turun gunung lebih awal karena sakit sehingga harus dirawat. Ia menderita pneumonia dan sempat sesak napas.
Senang menolong pendaki
Bagi Mbok Yem, alasan terpentingnya masih berjualan di Gunung Lawu adalah untuk menolong sesama.
"Saya senang bisa menolong orang yang membutuhkan di sana. Mereka tidak perlu repot dan khawatir soal makan dan minum saat berada di Puncak Lawu,” katanya pada 2022.
Walau sempat diminta anak dan cucunya untuk beristirahat di rumah, ia mengaku bakal tetap berjualan di Gunung Lawu.
Sebab, selain dapat membantu pendaki, Mbok Yem mengaku bisa menemukan kedamaian di Gunung Lawu.
“Pokoknya di sana itu ingatan kita hanya kepada Yang Maha Kuasa saja. Saya tidak mikir yang lain,” tuturnya.
Selama menjaga warung, Mbok Yem mengaku kerap memaksakan diri meski sedang sakit. Ia tetap membuatkan telur goreng bagi pendaki yang sampai di puncak malam hari.
Bahkan, pukul 02.00 malam pun Mbok Yem tetap menyiapkan makanan jika ada yang singgah di warungnya.
“Kemarin itu sakit gigi, enggak bisa tidur. Kadang sampai jam 12 malam enggak tidur. Jam 2 malam itu masih goreng telur karena ada pendaki yang lapar. Kalau capek baru tertidur," ucap Mbok Yem, Maret 2025.
Tak pikir untung-rugi
Anak kedua Mbok Yem, Saelan, mengaku tidak bisa berbuat apa-apa jika Mbok Yem tetap nekat berjualan meski usianya sudah memasuki 82 tahun.
“Dilarang pun tidak bisa karena kalau di rumah yang dipikir bagaimana orang-orang yang naik gunung bisa makan,” ucapnya.
Saelan mengaku bahwa jiwa orangtuanya itu sudah tidak memikirkan untung atau rugi berjualan di Puncak Gunung Lawu. Untuk membawa beban sembako seberat 35 kilo menuju puncak, biayanya bisa mencapai Rp 500.000.
“Kami memahami bagaimana Simbok lebih mementingkan bisa jualan di atas daripada memikirkan untungnya,” ujar Saelan.
Meski tampak sederhana, tetapi warung Mbok Yem menyimpan kenangan bagi orang-orang yang pernah mendaki Gunung Lawu.
Salah satu menu yang dirindukan adalah nasi pecel.
Tak jarang juga pendaki menginap di warung Mbok Yem. Kini, Mbok Yem telah pergi.
Semoga kenangan mengenai Mbok Yem tetap melekat di hati para pendaki.
Selamat jalan, Mbok Yem...
https://surabaya.kompas.com/read/2025/04/23/163559978/selamat-jalan-mbok-yem-sang-legenda-gunung-lawu-dan-pahlawan-bagi-para