Rupanya, menggotong keranda jenazah melewati sungai sudah lama dilakukan warga desa tersebut. Sebab, ada warga yang melarang keranda lewat di dekat rumahnya.
Sekretaris Desa Wates, Misdi mengatakan bahwa larangan keranda jenazah menuju pemakaman lewat jalan sebelah rumah itu sudah berlaku sejak Oso, bapak dari Sulasmi masih menempati rumah tersebut.
“Sudah puluhan tahun sejak Mbah Oso, bapaknya Sulasmi, itu sudah dilarang lewat situ. Katanya kalau jenazah lewat jalan di samping rumahnya, katanya jadi lemah sangar,” ujarnya ditemui di Balai Desa Wates, Senin (21/4/2025).
Tak hanya melarang warga Desa Wates, Sulasmi juga melarang warga Desa Tugurejo yang meninggal melewati jalan di depan rumahnya.
Akhirnya, jika ada warga yang meninggal, terpaksa harus melewati jalan kebun yang cukup curam untuk menyusuri sungai kurang lebih 150 meter, baru naik menuju ke lokasi pemakaman.
“Warga desa sini pun harus lewat sungai ke pemakaman meski pemakaman tersebut masuk Desa Tugurejo,” kata Syarifudin, salah satu warga Desa Tugurejo.
Misdi mengungkapkan, tiga tahun lalu Sulasmi sempat protes ke pemerintah Desa Wates karena salah satu warga desa yang meninggal melintas di jalan samping rumahnya dengan menggunakan ambulans.
Meski sempat dimediasi, Sulasmi tetap kekeh melarang warga yang meninggal diantar ke pemakaman melalui jalan di samping rumahnya.
“Rupanya warga langsung membawa mobil ambulans menuju ke makam. Sulasmi langsung protes ke desa. Hasil mediasi tidak ada titik temu antara warga dengan Sulasmi,” katanya.
Sayangnya, upaya konfirmasi Kompas.com kepada Sulasmi dicegah oleh warga yang berada di rumah Sulasmi.
Warga beralasan saat ini Sulasmi sedang punya hajat mengkhitankan anaknya.
Chandra, salah satu tetangga Sulasmi, mengatakan bahwa Sulasmi memang melarang keranda jenazah melewati jalan di samping rumahnya meski dia juga tidak tahu alasan larangan tersebut.
“Iya, memang Bu Sulasmi melarang jenazah lewat di jalan sini. Alasannya kita tidak tahu,” ucapnya.
Karena larangan keranda jenazah melewati jalan samping rumahnya, warga akhirnya sepakat melarang jenazah Mbah Oso dimakamkan di pemakaman Desa Tugurejo saat meninggal dunia.
“Karena larangan itu, warga akhirnya melarang jenazah Mbah Oso dimakamkan di Tugurejo. Akhirnya jenazah Mbah Oso dimakamkan di Gemahharjo, Kabupaten Pacitan, di tempat kelahirannya, meski dia warga sini,” kata Misdi.
Tempat Pemakaman Umum milik Desa Tugurejo memang puluhan tahun digunakan untuk pemakaman warga Dukuh Bungkul dan sekitarnya karena pemakaman aset Desa Wates dari Dukuh Bungkul berjarak 3 kilometer.
Pemerintah Desa Tugurejo tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
Pemakaman Desa Tugurejo dipisahkan sungai sebagai batas desa dengan Desa Wates.
Satu-satunya jalan menuju pemakaman adalah jalan yang berada di samping rumah Sulasmi.
Karena larangan tersebut, warga terpaksa melintasi sungai untuk memakamkan warga yang meninggal.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/04/21/173652678/awal-mula-keranda-digotong-sebrangi-sungai-di-ponorogo-rupanya-dilarang