Salin Artikel

Cerita Kartini Masa Kini: Cari Kerja Sampingan dan Tak Nongkrong Lagi di Kafe demi Kebutuhan Keluarga

Dia mengungkapkan kepedihannya saat mendengar kabar bahwa keluarganya tidak mampu membeli beras atau gas elpiji untuk berbuka puasa saat bulan Ramadhan.

"Waktu itu (bulan Ramadhan) ibuku cerita ke aku, ‘Gak isok tumbas beras, mek isok tumbas air minum’ (enggak bisa beli beras, hanya bisa beli air minum)," ujarnya.

Aulyafillah mengungkapkan bahwa harga bahan pokok yang melonjak membuatnya harus memutar otak agar tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.

"Hal sesederhana beli sembako kayak minyak, beras, telur itu aja sekarang mahal banget," ungkapnya saat ditemui Kompas.com, Sabtu (12/4/2025).

Ia menjelaskan bahwa harga telur yang biasanya setengah kilo dapat dibeli seharga Rp 16.000 sampai Rp 18.000 kini hanya bisa mendapatkan 6-8 biji.

Sementara itu, harga beras yang dulunya sekitar Rp 70.000 untuk lima kilogram kini melonjak menjadi lebih dari Rp 100.000.

Sejak ayahnya meninggal pada tahun 2023 dan ibunya tidak bekerja, Aulyafillah terpaksa menjadi pencari nafkah utama untuk membiayai kedua adiknya yang masih duduk di bangku SMA, ibu, dan neneknya.

Gaya hidupnya pun harus berubah drastis.

Dia tidak lagi mengonsumsi barang-barang tersier, seperti belanja, nongkrong di kafe, dan membeli makanan cepat saji.

"Kemarin Lebaran aja keluargaku enggak beli baju baru sama sekali, sudah enggak kuat," sebutnya.

Dengan pendapatan yang pas-pasan, Aulyafillah harus mengeluarkan sekitar Rp 2,5 juta per bulan untuk kebutuhan keluarganya, termasuk biaya sekolah adik-adiknya, listrik, bensin, dan kebutuhan makan sehari-hari.

Selain itu, dia juga harus mencukupi kebutuhan pribadinya sebagai perantau di Surabaya yang memerlukan sekitar Rp 2 juta per bulan.

Tak jarang, dia mengambil tiga hingga empat pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.

Aulyafillah menjelaskan bahwa ibunya juga berusaha membantu ekonomi keluarga dengan mengambil pekerjaan serabutan, seperti menjadi tenaga tambahan saat ada hajatan, meski sering dibayar dengan sembako.

"Dulu juga sempat jualan gorengan, tapi sekarang minyak semakin mahal sudah enggak kuat. Jadi beralih jualan es batu kristal, kadang kalau ramai sehari bisa dapat Rp 50.000," ujarnya.

Menurutnya, kondisi ekonomi saat ini sangat tidak masuk akal karena harga sembako dan kebutuhan hidup lainnya terus meningkat, sedangkan pendapatan masyarakat tidak berubah.

"Kita jadinya hanya berfokus untuk cari kerja saja seakan kita ‘diperbudak’, jadinya enggak bisa enjoy hidup, hanya mencari cara gimana untuk bertahan hidup dan itu sangat menyedihkan," pungkasnya.

Aulyafillah berharap pemerintah lebih bijak dalam membuat kebijakan yang tidak membelenggu nasib rakyat kecil.

"Aku berharapnya pemerintah agar bisa menomorsatukan pendidikan, serta melihat dan benar-benar menyadari bagaimana keadaan masyarakat sampai tingkat paling bawah dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya," harapnya. 

https://surabaya.kompas.com/read/2025/04/17/093527278/cerita-kartini-masa-kini-cari-kerja-sampingan-dan-tak-nongkrong-lagi-di

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com