Sulastri adalah ketua RT yang kerap berkeliling untuk memantau kondisi warganya, khususnya mereka yang terjerat utang.
Langkah kaki Sulastri melambat saat dia menunjukkan kepada Kompas.com sebuah rumah sederhana dengan tembok berbahan anyaman bambu.
Jendela pada rumah itu terbuat dari kawat baja anti-nyamuk yang ditutupi kain dengan warna yang tampak lusuh.
Rumah itu dikontrak seseorang yang terjerat utang dengan berbagai metode, mulai dari pinjaman bank konvensional hingga pinjaman online atau pinjol.
Tak hanya satu, Sulastri menunjukkan rumah lainnya, yang bahkan dalam kondisi lebih parah, yaitu sebuah rumah yang cenderung kumuh dengan kondisi barang-barang yang tak beraturan penempatannya.
“Ada beberapa yang saya ketahui, pinjaman online menjadi pilihan terakhir ketika dia sudah tidak bisa pinjam ke kerabat, RT, dan RW. Ambil pinjaman online untuk menutup utang itu, setelah itu kabur,” tutur wanita yang juga merupakan sekretaris partai buruh Kabupaten Banyuwangi itu.
Mereka yang kabur membawa diri sendiri, meninggalkan kehidupan lama, bahkan anak, suami dan orangtua yang harus menanggung kehidupan di bawah bayang-bayang penagih utang yang terus datang.
Menurut Sulastri, pinjol biasanya menjadi alternatif bagi mereka yang tidak bisa bangkit karena utang yang menumpuk, atau ketika nama mereka telah masuk dalam catatan hitam perbankan.
Apabila mendapatkan bantuan dari pemerintah, uangnya justru mereka gunakan untuk memenuhi gaya hidup.
Alih-alih digunakan untuk memperbaiki keadaan, mereka justru tak ragu menggunakan uang bantuan untuk keperluan lainnya seperti kredit ponsel, atau bahkan uang muka pembelian sepeda motor dengan nominal rendah yang kini sangat mudah ditemukan.
Pinjol, khususnya yang ilegal, kemudian menjadi pintu terakhir yang dibuka, karena kemudahan aksesnya, tanpa jaminan, dan bisa menawarkan nominal besar, yang kemudian digunakan untuk gali lubang tutup lubang tanpa henti.
Kondisi-kondisi yang dilihatnya itu yang kemudian dia petik sebagai pelajaran agar warganya tak mengalami hal serupa.
Sulastri bertekad untuk membentengi warganya dari jeratan utang, terutama pinjaman online ilegal.
“Pinjaman online itu bunganya besar. Misalnya Rp 1 juta, bunganya bisa mencapai Rp 250.000,” ucap Sulastri.
Ia berbicara dari hati ke hati dengan satu per satu warganya, bahwa dengan bunga yang rendah, pinjaman PKK memiliki sistem yang lebih merakyat.
“Kalau di PKK, per pinjam Rp 1 juta, bunganya Rp 100.000 yang bisa dibayar selama 3 bulan,” katanya.
Misalnya, kata dia, yang bersangkutan baru bisa membayar dalam jangka waktu 4 atau 5 bulan dengan alasan tertentu, sikap tenggang rasa akan diutamakan, dan peminjam dapat membayar sesuai kemampuan.
Dari besaran bunga pinjaman yang dibebankan kepada peminjam, juga akan kembali kepada kesejahteraan anggota PKK itu sendiri, di antaranya bunga untuk penabung serta bingkisan hari raya.
“Anggota saya ada 26, peminjamnya sekitar 11-15 orang. Kisarannya paling kecil Rp 1 juta, dan paling besar Rp 5 juta,” ujar Sulastri.
Kebanyakan dari mereka melakukan pinjaman untuk membayar pendidikan anak dengan penyelesaian selama 3 bulan.
Ada pula yang menggunakan uang pinjaman dari PKK untuk melunasi utang di tempat lain atau lepas dari pinjaman sebelumnya dan memutuskan beralih ke pinjaman PKK yang tak mencekik.
Kini, lulusan sarjana hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya itu akan berfokus pada peningkatan kesejahteraan warga dan memastikan tak ada warga yang menyentuh pinjol ilegal yang kemudian menyengsarakan warga sendiri.
“Warga saya juga sudah antipati dengan pinjol ilegal, kami edukasi jangan sampai menjadi korban,” kata Sulastri.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/04/15/160944378/ketika-pinjol-jadi-jalan-terakhir-kisah-warga-banyuwangi-dan-upaya-rt