Kenaikan harga bahan baku serta perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan inovasi dan strategi bisnis yang tepat.
Beberapa pelaku usaha hampers kue basah dari Malang dan Surabaya berbagi pengalamannya kepada Kompas.com dalam menyiasati kondisi ini tanpa mengorbankan kualitas produk.
Menjaga daya tarik di tengah ketatnya persaingan
Melissa Juliani, pemilik usaha hampers kue soes unik, merasakan adanya perubahan tren penjualan tahun ini.
Jika tahun lalu pesanan melonjak sejak awal Ramadhan hingga ia harus menolak beberapa pesanan, kali ini permintaan baru meningkat di minggu ketiga Ramadhan.
Ia melihat bahwa pencairan THR, terutama bagi ASN, menjadi faktor utama perbedaan pola belanja tahun ini.
"Dari awal Maret sudah banyak yang bertanya, tapi yang pesan tidak seantusias tahun lalu. Saya baru melihat peningkatan setelah pengumuman pencairan THR," ujar pemilik Dkueh Malang.
Ia juga mencermati bahwa persaingan semakin ketat, dengan semakin banyaknya pelaku usaha baru yang masuk ke industri kuliner.
Untuk tetap menarik perhatian pelanggan, ia berinovasi dengan menghadirkan kue soes berbentuk bucket bunga agar lebih unik dan eksklusif.
"Saya harus membuat sendiri bucket-nya agar lebih menarik. Dengan kreasi seperti ini, saya berharap tetap bisa bersaing di tengah banyaknya pilihan bagi pelanggan," imbuhnya.
Selain inovasi bentuk, daya tahan produk juga menjadi pertimbangannya dalam pengiriman. Untuk itu saat ini Brownies masuk dalam pilihan hampers yang ditawarkan sebagai alternatif yang lebih tahan lama dibandingkan kue soes.
Namun, salah satu tantangan terbesarnya adalah kenaikan harga bahan baku yang cukup drastis.
"Harga cokelat naiknya gila-gilaan. Kalau saya mengganti mentega dengan margarin, rasa akan berbeda. Jadi saya lebih memilih mengurangi keuntungan daripada menurunkan kualitas. Tapi ke depan mungkin ada penyesuaian harga," kata Melissa Juliani.
Efisiensi dengan menyesuaikan ukuran dan varian produk
Sedangkan Stefani Suryaningati, pemilik bisnis kue pie susu berkarakter asal Surabaya itu, juga merasakan dampak dari efisiensi pemerintah.
Ini membuat ia harus menyiasati kondisi ini dengan menyesuaikan ukuran dan varian produknya agar tetap terjangkau bagi pelanggan tanpa menaikkan harga secara drastis.
"Biasanya saya menjual kue dengan harga mulai dari Rp100.000 ke atas. Tapi tahun ini saya membuat ukuran yang lebih kecil, seperti spiku dan pie susu, agar lebih terjangkau," kata perempuan yang biasa disapa Stefani Kwee.
Meskipun harus beradaptasi, ia tetap menjaga kualitas produknya. Baginya, mempertahankan rasa yang sudah dikenal pelanggan lebih penting daripada sekadar menekan biaya produksi.
Apalagi, lonjakan harga bahan baku terjadi hampir di semua komponen produksi.
"Saya tetap pakai bahan berkualitas, misalnya keju Kraft. Tidak ada bahan yang diganti meski harga naik. Lebih baik untungnya berkurang daripada kualitas menurun," imbuhnya.
Ia percaya bahwa inovasi adalah kunci untuk bertahan dalam industri kuliner yang kompetitif. Sejak 2010, ia terus mencari ide unik agar produknya tetap menarik di pasaran.
Tahun ini, ia menghadirkan inovasi menarik dengan menciptakan pie susu karakter, memberikan sentuhan berbeda yang tidak biasa pada hampers.
Tidak hanya menawarkan rasa manis dengan tekstur lembut, tetapi juga dihiasi dengan fondant berwarna-warni yang membentuk berbagai karakter khas Lebaran.
“Ramadhan tahun ini saya bikin beda, pie susu yang tebal seperti egg tart, dan saya tambahkan karakter warna-warni,” ujar Stefani Suryaningati.
Permintaan besar dari instansi tetap ada
Namun berbeda dengan usaha hampers lapis legit yang dijalankan Jenne Greensabeth. Ia masih memiliki pasar stabil, terutama dari instansi yang rutin memesan dalam jumlah besar.
"Meskipun ada efisiensi, tetap banyak orang yang memiliki tradisi berbagi hampers. Segmen pelanggan saya sedikit berbeda, meski memang ada satu instansi yang tahun ini pesanannya berkurang karena sedang disorot," ujar pemilik Layerspeech Surabaya.
Biasanya, instansi langganannya bisa memesan hingga 400 paket hampers dalam satu waktu, yang membutuhkan waktu produksi hingga tiga hari penuh.
"Untungnya, beberapa instansi sudah menjadi pelanggan tetap, jadi permintaan masih ada," pungkas Jenne Greensabeth.
Kini dengan berbagai strategi inovasi dan adaptasi, para pelaku usaha tetap optimis menjelang Lebaran 2025 ini.
Efisiensi pemerintah mungkin membawa tantangan, tetapi juga membuka peluangnya untuk mampu menyesuaikan diri dengan dinamika pasar.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/03/23/215558378/adanya-efisiensi-pelaku-usaha-hampers-di-jawa-timur-beradaptasi-dengan