LUMAJANG, KOMPAS.com - Carok atau duel dengan senjata tajam kerap menimbulkan korban jiwa.
Terbaru, dua pedagang petai asal Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, meninggal dunia pada Minggu (23/2/2025) usai duel carok.
Sebelumnya, carok juga menewaskan warga Desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, pada Minggu (2/2/2025).
Insiden serupa juga pernah terjadi pada November 2024. Seorang pria tewas dengan luka bacok di tubuhnya.
Mirisnya, pemicu insiden berdarah ini hanya serempetan kendaraan yang pernah terjadi antara korban dan pelaku.
Kemudian, pada pertengahan Desember 2024, dua pemuda asal Kecamatan Pasirian terlibat carok usai menenggak minuman keras. Salah satunya tewas di lokasi kejadian.
Benarkah soal harga diri?
Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Jember, Akhmad Ryan Pratama, mengatakan, carok adalah tradisi dari orang-orang Madura untuk menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah.
Caranya, orang-orang yang sedang berkonflik ini berduel menggunakan senjata tajam. Biasanya, senjata yang digunakan adalah celurit.
"Kebiasaan atau tradisi dari orang-orang Madura untuk menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan berdiskusi," kata Ryan melalui sambungan telepon, Rabu (26/2/2025).
Ryan menjelaskan, tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan sejak kapan kebiasaan ini mulai ada di Madura.
Namun, pada masa kolonial sekitar abad ke-18 dan ke-19, tradisi ini sudah ada di Madura.
"Sudah ada sejak masa kolonial abad 18-19, tapi persisnya kapan mulai ada carok ini, belum ditemukan sumber sejarah yang kuat," jelasnya.
Carok diyakini berawal dari seorang mandor kebun tebu bernama R. Sakera yang berusaha melawan Pemerintah Hindia Belanda dengan celurit. Tindakan itu membuatnya dipenjara.
Namun, Sakera tidak berhenti melawan. Dia menggunakan celurit tersebut untuk membunuh banyak orang yang memenjarakannya.
Meski akhirnya dieksekusi, perlawanan Sakera menginspirasi warga Madura untuk melawan penjajah, meski hanya berbekal celurit.
Menurut Ryan, tradisi carok memiliki kesamaan dengan tradisi Sigajang Laleng Lipa dari Bugis, yakni tradisi saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung.
Tujuannya pun sama, yaitu untuk menyelesaikan masalah.
Biasanya, carok dipicu oleh konflik pribadi, ekonomi, perempuan, dan harga diri.
"Sama kayak tradisi Bugis yang tikam-tikam di sarung itu, pemicunya bisa dari konflik pribadi, ekonomi, harga diri, perempuan," ujarnya.
Dalam perjalanannya, tradisi carok ini tersebar seiring dengan persebaran orang-orang asli Madura ke hampir seluruh wilayah yang ada di Indonesia.
Pada masa kolonial, kata Ryan, orang-orang Madura ini dibawa ke luar daerah asal mereka dan dipekerjakan sebagai buruh perkebunan.
Dari sanalah tradisi ini lantas tersebar ke wilayah-wilayah yang kental dengan kultur Madura seperti Lumajang dan daerah sekitarnya.
"Sistem kolonial ini membawa orang Madura sebagai buruh perkebunan. Walaupun bukan Madura asli atau orang-orang yang terpengaruh dengan budaya Madura juga bisa melakukan carok, keturunan orang Madura juga bisa," jelas Ryan.
Namun, belakangan tradisi carok ini kerap menelan korban jiwa yang menyebabkan anak kehilangan orangtua.
Menurut Ryan, melihat fenomena carok tidak bisa diukur dengan sudut pandang hukum.
Karena bagi warga asli Madura, carok menjadi bentuk legitimasi harga diri seseorang.
"Carok tidak bisa dilihat dari sudut pandang murahnya harga nyawa dan hukum yang berlaku di negara kita, karena bagi penganut tradisi ini, harga diri lebih tinggi dan berharga dari apapun, bahkan nyawa sekalipun," tegasnya.
Perihal fenomena duel satu lawan satu di Lumajang yang kerap disebut carok oleh warga sekitar, Ryan menyebut, sebutan itu tergantung kearifan lokal masing-masing.
Biasanya, wilayah-wilayah yang kental dengan kultur Madura seperti Lumajang, Jember, dan Situbondo menilai duel semacam itu sebagai carok.
"Konsepsi carok itu tergantung yang melihat, kalau orang sana menyebutnya carok ya maka itu carok, tidak ada ukuran baku yang seperti ini baru dinamakan carok dan yang lainnya bukan," pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/02/26/130604178/mengenal-istilah-carok-benarkah-soal-harga-diri