Salin Artikel

Antara Macet dan Transportasi Publik, Pilihan Sulit bagi Warga Surabaya

SURABAYA, KOMPAS.com - Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, menyimpan dinamika kehidupan yang unik.

Di balik gemerlapnya kota, pertumbuhan kendaraan yang pesat menjadi tantangan tersendiri.

Ruas jalan yang belum sepenuhnya mampu mengakomodasi lonjakan jumlah kendaraan membuat kemacetan menjadi hal yang tidak terhindarkan.

Bagi Ajeng Pinto, seorang humas pemerintahan, kemacetan sudah menjadi bagian dari rutinitas harian.

Setiap pagi, ia harus menempuh perjalanan dari Rungkut Medok Ayu menuju kantornya di Bandara Juanda, melintasi padatnya lalu lintas yang tak jarang membuatnya harus bersabar.

"Kena macet karena posisi kantor saya di perbatasan Sidoarjo-Surabaya, kerja di Juanda. Itu yang macet. Kalau saya merasakan di Sidoarjo yang mau masuk Surabaya, trafiknya macet," ujar perempuan yang biasa disapa Ajeng itu kepada Kompas.com, Senin (17/2/2025) sore.

Kemacetan di Surabaya, menurutnya, tidak hanya terjadi di pusat kota, tetapi hampir di setiap sudut, terutama pada jam-jam sibuk.

Meski demikian, ia masih menganggap kemacetan di Surabaya dalam batas wajar, tidak sampai membuat kendaraan benar-benar berhenti total.

"Saya berangkat pukul 06.30 pagi dan langsung terjebak macet menuju akses tol karena jam-jam segini anak sekolah juga mulai berangkat," imbuhnya.

Namun, ada hal lain yang lebih mengkhawatirkannya dibanding sekadar kemacetan, yaitu saat hujan deras.

Baginya, hujan bukan sekadar tetesan air dari langit, melainkan pemicu kemacetan yang lebih parah akibat genangan dan banjir di beberapa titik.

Tak jarang memaksanya mengambil keputusan yang tidak biasa.

"Kalau hujan deras, Surabaya macetnya di mana-mana. Kadang ada genangan yang bikin kendaraan harus melambat, bahkan di beberapa titik bisa menyebabkan kemacetan parah," kata perempuan asli Kediri itu.

"Saya pernah memutuskan untuk menunggu hujan reda dulu di tempat aman sebelum pulang, karena lebih baik menunggu daripada terjebak di jalan. Saya menggunakan city car, jadi kalau ada genangan air yang cukup tinggi, saya bisa kesulitan," ucap dia.

Sementara itu, selama menetap di Surabaya, kendaraan pribadi tetap menjadi pilihan utama karena akses transportasi publik yang masih terbatas.

Ia yang pernah tinggal di Jakarta dan Bandung merasakan perbedaan signifikan dalam hal transportasi umum di Surabaya.

"Di Jakarta dan Bandung, akses kendaraan umum sudah bagus, jadi mobilisasi warganya lebih mudah. Tapi di Surabaya belum umum, orang masih lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi. Aku sih kurang paham, tapi selama di Surabaya ini kalau disuruh naik kendaraan umum agak susah juga," tuturnya.

Kesulitan itu bukan hanya karena transportasi publik yang terbatas, tetapi juga karena akses menuju titik-titik transportasi publik yang masih menyulitkan.

Apalagi memiliki rumah di kampung, jadi harus jalan dulu untuk menuju titik pemberhentian transportasi publik.

Untuk itu, ia memilih menggunakan kendaraan pribadi karena lebih menghemat waktu.

"Kendaraan umum tempatnya terbatas, saya pernah naik Suroboyo Bus, nyaman, tapi untuk mengaksesnya butuh effort. Aku harus naik ojek online dulu atau parkir kendaraan dulu. Apalagi ke arah kantor saya belum tersambung sepenuhnya," ujar Ajeng Pinto.

Menurutnya, meskipun ruas jalan ditambah, jumlah kendaraan kemungkinan akan terus bertambah karena kebiasaan masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi dibanding transportasi publik.

"Di Bandung, angkot-angkotnya masih masuk ke daerah-daerah kecil, kalau di Surabaya sendiri belum. Jadi memang kurang," katanya. 

Ia sebenarnya ingin menggunakan kendaraan umum, tetapi kondisi saat ini belum memungkinkan.

Meskipun sudah ada aplikasi untuk mengetahui posisi kendaraan umum, tetap saja ada tantangan.

"Sebenarnya selain menekan pengeluaran, juga bisa mengurangi stres di jalan. Tapi di Surabaya ini, fasilitas transportasi publik belum bisa memenuhi kebutuhan warga. Sudah ada, tapi mengaksesnya masih sulit," harap ibu beranak satu itu.

"Jadi, butuh effort yang kadang bikin kepikiran ‘lewat nggak ya’," katanya. 

https://surabaya.kompas.com/read/2025/02/18/092742878/antara-macet-dan-transportasi-publik-pilihan-sulit-bagi-warga-surabaya

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com