Sebanyak empat di antara mereka bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pengeroyokan dan penganiayaan terhadap dua pesilat dari perguruan silat lain.
Pengeroyokan terjadi di sebuah gang di Desa Minggirsari, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, dalam rangkaian peristiwa yang sama dengan kegiatan konvoi tersebut.
Kapolres Blitar AKBP Arif Fazlurrahman juga mengatakan, polisi akan menjerat tujuh dari 11 pesilat tersebut dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) atas keterlibatan dalam konvoi yang meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.
“Ketika mereka terbukti menjadi bagian dari ormas tertentu, dalam hal ini perguruan silat, aksi konvoi meresahkan ini dapat dihukum pidana, bukan sekadar dijerat Undang-Undang Lalu Lintas, tetapi pidana murni.”
Demikian ujar Arif pada konferensi pers pengungkapan kasus pengeroyokan terhadap dua pesilat di Mapolres Blitar, Senin (17/2/2025).
“Tindak pidana ormas merupakan hal yang mungkin pertama kali kami terapkan dalam penyelesaian hukum atas konflik antar kelompok anggota perguruan silat,” imbuhnya.
Kata Arif, dengan UU tentang Ormas, aksi konvoi meresahkan disertai intimidasi terhadap orang lain dapat dipidana penjara selama enam bulan dan maksimal satu tahun.
Tujuh pesilat tersebut adalah RAP (25), dan Nando (19), keduanya warga Kelurahan Plosokerep, Kota Blitar.
Selanjutnya, AP (17), warga Jatinom, Kabupaten Blitar, AAP (19), warga Karangtengah, Kota Blitar, DM (19), warga Klampok, Kota Blitar, RH (19), warga Sentul, Kota Blitar, dan pesilat perempuan bernama VL (20), warga Pakunden, Kota Blitar.
Dari insiden yang sama, polisi juga menetapkan tiga pesilat sebagai tersangka pengeroyokan dan penganiayaan, yakni MH (27), JWB (20), dan RGR (19).
Selain itu, HM (22), warga Sentul, Kota Blitar, juga dijadikan tersangka, karena kedapatan mengambil ponsel milik korban.
Dengan penggunaan UU tentang Ormas, tambahnya, penyidik dapat dengan leluasa melakukan pemeriksaan terhadap pengurus dari perguruan silat yang anggotanya terlibat dalam perkara tersebut.
“Apakah ada provokasi, hasutan, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Arif mengakui, konflik antar kelompok anggota perguruan silat yang satu dengan yang lain telah menjadi perkara klasik yang terus berulang.
Namun, lanjutnya, selama ini tidak ada upaya untuk mengungkap kenapa ada kecenderungan sikap arogan dari mereka yang menjadi anggota perguruan silat.
Dia merujuk pada hasil pemeriksaan terhadap 11 pesilat yang ditangkap yang menunjukkan adanya motif kesal terhadap dua korban karena menjadi anggota perguruan silat yang berbeda.
"Ini menunjukkan tanda-tanda kebencian,” ujarnya.
Karena itu, Arif mengimbau kepada para ketua perguruan silat yang ada di Blitar untuk lebih bertanggung jawab dalam membimbing anggota mereka agar tidak mengedepankan sikap emosional dan arogan.
“Kita harus mengubah paradigma perguruan silat menjadi tempat untuk berlatih dan membina prestasi, bukan menumbuhkan arogansi dan kebencian,” tutur dia.
Di sisi lain, kata dia, polisi juga mendapati fakta bahwa 11 pesilat yang melakukan konvoi yang mengganggu ketertiban umum serta melakukan pengeroyokan dan penganiayaan tersebut berada dalam pengaruh minuman keras.
Kata Arif, sebenarnya jumlah pesilat yang melakukan konvoi pada saat itu sekitar 50 orang, namun hanya 11 di antaranya yang melakukan pengejaran dan pengeroyokan usai berpapasan dengan dua pesilat dari perguruan silat lain.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/02/17/204837478/ditangkap-saat-konvoi-polres-blitar-tetapkan-4-dari-11-pesilat-jadi