KOMPAS.com - Ferry Irawan, seorang tattoo artist yang kini dikenal luas, menganggap profesinya lebih dari sekadar pekerjaan.
Ia melihatnya sebagai bentuk dedikasi yang membuktikan bahwa kerja keras tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Saat ini, ia dikenal sebagai spesialis realis potret dan nuansa horor, dengan aktivitas yang terbagi antara Malang dan Bali.
Perjalanan Ferry dalam dunia tato dimulai dari iseng saat masih duduk di bangku SMP.
Ia mengaku tidak pernah membayangkan bahwa seni merajah tubuh ini akan menjadi jalan hidupnya.
“Mulai iseng mentato dari kelas 3 SMP sekitar tahun 1995. Waktu SMA sudah mulai banyak teman yang minat dengan karyaku, padahal dulu referensinya sedikit,” kenangnya kepada Kompas.com, Selasa (11/2/2025) malam.
Dengan keterbatasan informasi yang ada, Ferry mengandalkan kreativitas dan bakat yang dimilikinya.
Ia mengambil inspirasi dari motif-motif sederhana seperti batik dari seprai atau nampan.
“Dulu nggak bisa narik harga. Kalau teman ya ditanya dulu, kamu punya bujet berapa? Kalau sepakat, ya gas. Dan banyak yang suka, berarti mereka sudah percaya dengan karyaku,” tambahnya.
Seiring berjalannya waktu, hasil karyanya menyebar dari mulut ke mulut, membuatnya semakin mantap menekuni dunia tato meskipun perjalanannya tidaklah mudah.
Pada masa itu, akses informasi sangat terbatas, internet belum semudah sekarang, dan media sosial pun belum ada.
Ia harus mengandalkan imajinasi serta pengamatan visual dalam kehidupan sehari-hari.
Ferry beruntung karena di Kota Malang terdapat komunitas tato yang cukup solid.
Di sana, ia menemukan tempat untuk belajar dan berbagi pengalaman dengan sesama tattoo artist.
“Kalau peralatan zaman dulu sih kita mengikuti komunitas Tattoo Malang karena sebagai sumber informasi dan sangat membantu,” ujarnya.
Namun, meskipun semakin serius menekuni seni tato, ia tidak dapat menghindari stigma negatif yang melekat di masyarakat.
Terutama di lingkungan padat penduduk, ia sering mendapatkan pandangan sinis.
“Ya sempat tabu kalau di kampung, dipandang sebelah mata. Banyak yang merasa aneh juga waktu awal-awal, tapi lama kelamaan ramai, ya aman-aman saja,” ungkap Ferry.
Ia memilih untuk tetap fokus pada pekerjaannya, menjaga ketertiban, dan memastikan tidak mengganggu lingkungan sekitar.
“Saya dulu awal buka jasa tato di rumah kampung, tapi nggak ada yang sampai berbuat onar karena yang datang juga orang baik-baik saja. Akhirnya masyarakat menerima dengan perkembangan zaman ini."
"Yang penting di kampung nggak resek, diem saja. Meskipun diomongin dari belakang, nggak masalah. Yang penting kita nggak bikin onar dan kerja dengan tertib,” sambungnya.
Sebagai tattoo artist profesional, Ferry juga disiplin dalam mengatur waktu kerja dan selalu memastikan aktivitasnya selesai sebelum pukul 10 malam.
“Karena kalau di atas jam segitu sudah jelek mood-nya. Rata-rata tattoo artist seperti itu, kan juga butuh fresh. Kalau malam sudah capek,” tuturnya.
Berkat ketekunan dan totalitasnya, ia kini menjadi tattoo artist yang diperhitungkan.
Karyanya diminati oleh pecinta tato dari dalam maupun luar negeri.
Ia bahkan pernah diundang langsung oleh seorang klien di Colorado, Amerika Serikat, yang mengagumi karyanya.
Selama dua bulan, ia menato hampir 30 orang di sana.
“Tahun 2023 kemarin dari USA Colorado, itu pun diundang langsung sama orang sana. Dia minat sama karyaku, lalu nyuruh datang ke sana buat tato dia dan teman-temannya. Mungkin tahun depan akan ke sana lagi,” tuturnya.
Meski seni tato semakin diterima, Ferry masih menghadapi tantangan, termasuk kesalahpahaman terhadap profesi ini.
Ia percaya stigma negatif akan memudar seiring perubahan zaman.
“Pelecehan yang lebih sering diantisipasi. Kalau menemukan klien yang aneh-aneh, kita sudah nggak banyak bicara dan waspada,” katanya.
Ferry menekankan pentingnya menjaga etika profesional saat bekerja.
Ia menyarankan agar klien mengenakan pakaian sopan saat melakukan tato di tempat sensitif.
“Karena zaman sekarang, apa-apa gampang viral dan banyak orang aneh-aneh,” imbuhnya.
Menurutnya, kunci bertahan di industri ini adalah disiplin dan semangat belajar yang terus-menerus.
“Pesatnya perkembangan tato bikin kita termotivasi untuk terus belajar. Dengan mengikuti zaman, nggak selamanya belajar dari yang tua saja, ada saatnya nanti yang tua belajar dari yang muda,” pungkas Ferry.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/02/12/105156578/rasa-cinta-pada-seni-tato-mengalahkan-stigma-negatif