SURABAYA, KOMPAS.com - Masyarakat Tionghoa melakukan ritual sembahyang leluhur yang biasanya dilaksanakan sehari menjelang Imlek.
Ritual ini bertujuan untuk memberi penghormatan kepada para dewa, serta mendoakan para leluhur yang telah meninggal.
Suk Doni, tetua di Kampung Pecinan, Surabaya, mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat tiga macam sembahyang leluhur, yaitu sembahyang leluhur menjelang Imlek, ritual Ceng Beng, dan ritual Ci’ Ye’ Pang.
Sembahyang leluhur ini biasanya dilakukan oleh masyarakat Tionghoa yang masih menganut kepercayaan Tridharma, yakni Buddha, Khonghucu, dan Tao.
Jelang Imlek
Suk Doni menjelaskan, untuk sembahyang leluhur menjelang Imlek, biasanya diawali dengan ritual ngejiya yang dilakukan sehari sebelumnya pada pukul 18.00 WIB.
Tujuannya adalah untuk meminta izin kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) supaya para leluhur dipersilakan untuk datang mengunjungi keluarganya.
“Kemarin keluarga istri saya ngejiyah kepada Tuhan YME, setelah itu sembahyang leluhur supaya dapat menikmati Imlek ini bersama-sama,” tutur Suk Doni, Selasa (28/1/2025).
Esok harinya, akan dilaksanakan sembahyang leluhur sehari sebelum Imlek dengan menyajikan sejumlah sesajen. Sembahyang leluhur ini dilakukan untuk menghormati dan mendoakan para leluhur yang telah meninggal.
Nantinya, pada tanggal 29 Januari saat perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung, terdapat beberapa aturan yang berlaku.
"Seperti dilarang untuk memotong kuku, rambut, kumis, tidak boleh keramas, membuang sampah, maupun membersihkan rumah. “Jadi rumah dibiarkan kotor tidak apa-apa, yang penting rezekinya tidak tersapu, maknanya seperti itu,” tuturnya.
Selain itu, masyarakat Tionghoa akan mengenakan pakaian berwarna merah, keluarga yang lebih muda harus mendatangi yang lebih tua untuk mengucapkan kalimat “Gong Xi”, dan memberikan angpao untuk keluarga yang sudah menikah.
“Kalau yang punya uang lebih, boleh juga untuk memasang lampion yang melambangkan doa, rezeki, dan cahaya kehidupan,” tutur Suk Doni.
Ceng Beng
Kemudian, ada ritual Ceng Beng yang biasanya dilaksanakan sekitar bulan April. Ritual ini memiliki kemiripan dengan ritual Nyadran dari Jawa Tengah.
Ceng Beng atau sembahyang kubur merupakan upacara perwujudan dari sikap masyarakat Tionghoa yang sangat mencintai dan menghormati leluhurnya.
“Jadi biasanya kita akan pergi ke makam, terus bersih-bersih makam di sana dan melakukan ritual agar kita selalu diberkati, serta saudara-saudara lainnya enggak ada masalah,” ucapnya.
Ci' Ye' Pang
Selanjutnya, ritual Ci’ Ye’ Pang atau sembahyang rerebutan yang dimulai sejak seminggu sebelum Imlek atau pada 22 Januari hingga 26 Januari 2025.
Tradisi ini dipercaya untuk memberi sesaji kepada arwah yang telah meninggal dunia, baik yang meninggal wajar maupun tidak.
Dalam kepercayaan Tionghoa, mereka mempercayai bahwa selama Ci’ Ye’ Pang berlangsung, maka akan turun hujan.
Hal tersebut dimaknai sebagai naiknya para dewa untuk melaporkan setiap perbuatan manusia kepada Tuhan YME, sehingga hujan turun untuk membersihkan alam dari segala dosa dan keburukan.
“Setelah Imlek selesai, dewa akan turun ke bumi untuk kembali melaksanakan tugasnya, dan pada saat itu hujan akan turun lagi untuk membersihkan alam,” jelas Suk Doni.
Dia berharap agar para generasi muda keturunan Tiongkok, terutamanya yang masih mempercayai ajaran Tridharma, dapat memahami setiap filosofis dari tradisi yang ada.
“Karena kalau nanti generasinya Suk Doni sudah enggak ada, bisa-bisa hilang tradisi ini,” tutupnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/28/230604378/mengenal-3-macam-sembahyang-leluhur-masyarakat-tionghoa