SURABAYA, KOMPAS.com - Dupa mengepul di altar utama Kelenteng Hong Tiek Hian, Jalan Dukuh No 23, Surabaya, Jawa Timur, Senin (20/1/2025). Bunyi lonceng berbaur dengan dentingan alat musik pengiring wayang potehi.
Di sudut kanan altar, Hendra (65) menyaksikan dengan seksama boneka-boneka kain yang lembut, bersama puluhan jemaat yang khusyuk menyaksikan.
"Wayang potehi bukan sekadar hiburan bagi kami," bisik salah seorang jemaat.
"Ini adalah bentuk persembahan, doa yang dirajut dalam cerita," katanya.
Setiap pekannya, kelenteng tertua di Surabaya ini mengadakan pertunjukan wayang potehi.
Tradisi yang telah berlangsung lebih dari lima dekade ini menjadi pengikat. Tidak hanya bagi jemaat, tapi juga masyarakat sekitar yang datang untuk menyaksikan.
"Dulu saya pikir cerita wayang potehi hanya untuk orang Tionghoa," ujar salah satu mahasiswa asal Surabaya, yang melakukan dokumentasi ke kelenteng.
"Tapi setelah sering menonton, saya paham bahwa nilai-nilainya universal baik tentang kebajikan, pengorbanan, dan persaudaraan," katanya.
Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri bahwa dalam pertunjukan wayang potehi di Hong Tiek Hian banyak syarat akan makna. Persaudaraan, nilai-nilai luhur, dan ajakan untuk memperdalam dan melanggengkan kebajikan tersirat dalam lakon dan kekhusukkan.
Merajut doa dalam kisah
Kekhusukkan itu tertuang ketika sang dalang memainkan kisah dari dataran Tionghoa yang khas malam itu.
Tangannya yang berpengalaman menggerakkan setiap boneka dengan presisi, sementara suaranya berubah-ubah memerankan berbagai karakter.
Di antara adegan, ia menyelipkan humor-humor khas Surabaya yang membuat jemaat tersenyum.
"Cerita ini mengajarkan tentang ketulusan berbagi," jelas jemaat paruh baya, yang telah mengikuti pertunjukan wayang potehi setiap pekannya.
Melalui wayang potehi, jemaat bahkan warga yang antusias menyaksikan mendapatkan banyak pelajaran dan berkah. Terutama, jika wayang potehi ini juga menekankan soal pengorbanan dan rasa adil.
Tentunya nilai-nilai yang bersambung dalam benak hati siapa pun yang menyaksikannya.
Dan, puncak dari kekhusukkan, kesinambungan antara hati dan kisah, tertuju pada satu persiapan, imlek.
Persiapan menjelang Imlek
Buktinya, menjelang Imlek, pertunjukan di Hong Tiek Hian justru menjadi lebih istimewa.
Sebab, sang dalang akan membawakan kisah khusus tentang perjalanan spiritual, yang dipadukan dengan ritual tradisional.
Para jemaat dan audiens merasakan betul bagaimana atmosfer spiritual berbicara di dalam hati mereka.
"Ini momen di mana seni, budaya, dan spiritualitas menyatu," kata Hendra.
Sementara pertunjukan berlangsung, aroma dupa dan lilin merah besar menciptakan suasana meditatif.
Pertunjukan semakin khidmat, dan menciptakan ruang instrospeksi dari masing-masing jemaat.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa jemaat senior tampak mengangguk-angguk mengenali adegan favoritnya.
Sementara anak-anak muda mencatat di ponsel mereka, mendokumentasikan kebijaksanaan yang terkandung dalam setiap dialog.
"Yang membuat wayang potehi di kelenteng istimewa adalah nuansa spiritualnya. Pasalnya, setiap gerakan, setiap kata, adalah doa. Boneka-boneka ini menjadi perantara antara manusia dan yang Maha Kuasa," kata Hendra.
Penutup yang khidmat
Kisah yang sarat akan nilai-nilai luhur telah perlahan-lahan tercurahkan. Saat pertunjukan mencapai klimaks, suasana kelenteng semakin bertambah khusyuk. Lakon yang dimainkan mengajarkan kemurahan hati seolah menyatu dengan doa-doa yang dipanjatkan jemaat.
"Di sinilah keajaiban terjadi," ujar jemaat lain.
"Ketika seni pertunjukan mampu menggerakkan hati untuk berbuat kebajikan."
Pertunjukan ditutup dengan ritual sederhana. Dengan kertas doa, dan jemaat menundukkan kepala dengan khidmat.
"Setiap pertunjukan adalah pengingat," kata jemaat paruh baya di samping.
Di luar, Surabaya semakin larut. Tapi di dalam Kelenteng Hong Tiek Hian, kisah-kisah kebajikan terus hidup.
Dirajut dalam setiap gerakan wayang potehi, dalam setiap kepulan dupa, dan dalam hati setiap jemaat yang datang untuk menemukan makna.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/21/061209078/wayang-potehi-merajut-cerita-spiritualitas-dan-doa