Salin Artikel

Kisah Kakek Amad, Veteran Perang RI 70 Tahun Cari Makam Istri

LUMAJANG, KOMPAS.com - Cinta seorang veteran perang Republik Indonesia (RI) bernama Amad (103) terhadap istrinya, Supiah, tetap abadi meski keduanya sudah dipisahkan oleh maut.

Bahkan, jauh sebelum Amad dan Supiah dipisahkan maut, keduanya sudah lebih dulu berpisah akibat kondisi perang melawan penjajah.

Amad adalah seorang tentara yang harus siap kapan pun saja untuk bertugas.

Apalagi, saat itu Indonesia tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan Soekarno.

Kondisi ini yang membuat Amad dan Supiah harus berpisah meski saat itu keduanya baru saja melangsungkan pernikahan.

Amad dan Supiah bertemu pertama kali di Kabupaten Pasuruan. Kala itu, Amad sedang dalam pelarian usai dirinya dan para pejuang lainnya merobek bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945.

Sedangkan, Supiah saat itu bekerja kepada seorang Tionghoa di Desa Tretes, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan.

Seketika, Amad langsung jatuh hati saat pertama kali bertemu Supiah.

Tanpa basa-basi, mantan tentara Heiho (tentara bentukan Jepang) ini meminta izin kepada majikan Supiah untuk menikahi gadis asal Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, itu.

"Ketemunya di Tretes, saya bilang sama majikannya, saya panggilnya cim. Cim ini pembantunya mau saya nikahi terus saya bawa pulang ke Lumajang, dibolehin sama cim itu malah saya dikasih uang, enggak tahu berapa uangnya, gambar Gatotkoco," kenang Amad di Lumajang, Minggu (19/1/2025).

Amad dan Supiah lantas pulang ke Lumajang. Keduanya berjalan kaki dari Pasuruan sampai Lumajang, membelah hutan di lereng Gunung Semeru.

Tanpa bekal apa pun, pasangan muda ini berjalan selangkah demi selangkah sampai akhirnya tiba di rumah Supiah setelah menempuh dua hari perjalanan.

"Jalan kaki, enggak bawa apa-apa, lewat hutan, enggak ada rumah, macan yang banyak, kalau lapar minta ke orang, saya cuma bawa buntalan punya Supiah," lanjutnya.

Lokasinya berada di Dusun Kemamang, Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.

Amad masih ingat betul lokasi rumahnya dulu. Ia menceritakan, di depan rumahnya terdapat dua pohon durian dan di belakangnya ada sungai yang biasa digunakannya untuk mandi.

Sayang, kebersamaan Amad dengan istri tercinta di Lumajang tidak berlangsung lama, hanya sekitar tiga bulan.

Bahkan, Supiah belum sampai mengandung buah cinta keduanya.

Pria kelahiran Surabaya ini harus berangkat tugas ke Sulawesi Utara dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Manado.

Peristiwa itu kini kita kenal dengan pertempuran Merah Putih pada 14 Februari 1946.

"Baru saja nikah, saya berangkat tugas ke Sulawesi berjuang, Supiah saya tinggal di rumah," ujarnya.

Namun, siapa sangka, perpisahan yang mulanya direncanakan untuk sementara, berubah menjadi pertemuan terakhir pasangan muda ini untuk selama-lamanya.

Amad tidak kunjung kembali dari pertempuran sampai akhirnya Supiah dijemput maut pada tahun 1954.

70 tahun pencarian

Usai bertugas di Sulawesi, Amad kembali untuk mencari istri dan keluarganya di Lumajang. Namun, tidak adanya teknologi komunikasi saat itu membuat pencarian tidak kunjung berhasil.

Kondisi Amad usai bertugas juga tidak seperti saat meninggalkan Supiah di kampung. Apalagi, Amad sempat mati suri saat bertugas. Yang diingatnya saat itu hanya nama sang istri dan nama mertuanya, yakni Supangat.

Berbekal petunjuk yang minim itu, Amad mencari ke sana kemari demi bisa bertemu belahan hatinya.

Keinginan Amad untuk segera bertemu dengan keluarga Supiah semakin membara saat ia mendengar kabar bahwa istri tercintanya meninggal dunia.

"Tahun 1955, saya mulai cari, memang betul saya cari tapi enggak diketemukan. Sempat dulu cari di Candipuro tapi enggak sampai ke Penanggal, kondisinya tidak memungkinkan waktu itu," ungkap Amad.

Pencarian Amad selama puluhan tahun akhirnya berbuah hasil.

Ia menemukan makam Supiah beserta keluarganya yang masih hidup di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.

Tangis haru Amad pun pecah saat pertama kali melihat adik kandung Supiah, Sunimah dan Khotijah.

Ketiganya saling memeluk melepas rindu yang sudah tertahan puluhan tahun. Terakhir mereka bertemu, saat itu Sunimah dan Khotijah masih anak-anak.

Dikira gugur

Adik-adik Supiah, Sunimah dan Khotijah, tidak ada yang menyangka bisa bertemu kembali dengan Amad.

Lama tidak ada kabar sejak terakhir meninggalkan rumah, keluarga mengira Amad sudah gugur saat berjuang mengusir penjajah.

Sunimah, adik bungsu Supiah, menceritakan, saat ditinggal Amad bertugas, Supiah kerap bercerita tentang suaminya yang sedang bertugas ke Sulawesi.

Namun, sampai Supiah menghembuskan napas terakhir, Amad tidak kunjung kembali.

"Kakak saya itu dulu kan tidurnya sama saya jadi sering cerita-cerita suaminya itu tugas ke Sulawesi. Mau nyari ya enggak bisa kan enggak ada surat waktu itu, jadi hanya pasrah, sekarang ketemu ya senang sekali terharu, kayak mimpi," ungkap Sunimah.

Penghormatan untuk Supiah

Sejenak bercengkrama dan melepas rindu dengan keluarga, Amad bergegas menuju pusara sang istri yang telah puluhan tahun dicarinya.

Sambil membawa sekantong bunga, Amad mengangkat tangannya sebagai bentuk penghormatan kepada Supiah.

Air mata jatuh dari mata Amad dan menetes tepat di kuburan Supiah.

"Saya hormati istri saya namanya Supiah, panggilannya Suci, meninggal tahun 1954, waktu saya sedang bertugas. Saya tidak punya kesempatan pamit, dia sudah meninggal. Baru tahun 2025 ini saya datang ke makam istri saya tercinta, namanya Supiah," ucap Amad di samping makam istrinya.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/20/061201878/kisah-kakek-amad-veteran-perang-ri-70-tahun-cari-makam-istri

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com