Begitulah Bowo, -sapaan seorang fotografer keliling yang sudah 20 tahun menawarkan jasa foto kepada pengunjung Kebun Binatang Surabaya (KBS).
Sebenarnya Bowo memiliki nama asli Bambang Prayugo. Dia lebih memilih dipanggil Bowo karena nama Bambang terlalu pasaran, kata dia.
Pedagang di sekitar lokasi KBS pun selalu menyapanya dengan nama itu.
“Sudah lama di sini, karena puluhan tahun di KBS jadi sudah pada kenal semua,” kata Bowo saat ditemui Kompas.com, Kamis (16/1/2025) kemarin.
Sejak jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, Bowo sudah mengalungkan kamera digital bermerek Canon di lehernya.
Dia mulai berkeliling ke sudut-sudut pintu masuk utara KBS untuk mencari pengunjung yang ingin mengabadikan momen mereka.
Spot favorit pengunjung, kata Bowo, ada di depan patung Suroboyo yang juga menjadi ikon Kota Surabaya. Bowo tak sungkan mengarahkan pengunjung berpose agar tak "mati gaya".
Setelah mendapatkan hasil sesuai, Bowo akan berjalan lagi ke ruang percetakan yang ada di sekitar lokasi untuk mencetak foto pilihan pengunjung.
Satu cetak foto berukuran 6R dibanderol seharga Rp 10 ribu, dan 8 R sebesar Rp 20 ribu. Selembar kertas ini barangkali menjadi kenang-kenangan manis bagi pengunjung ke KBS, kata dia.
“Dalam sehari kira-kira bisa motret 20 orang, itu dari pagi jam 07.00 sampai jam satu siang. Kalau sini lagi ramai-ramainya,” ujar dia.
Keterbatasan fisik
Bowo bisa memeroleh pendapatan sebesar Rp 100-200 ribu per hari dari profesi yang dijalani di tengah keterbatasannya.
Sudah tak terhitung berapa jauh kaki Bowo melangkah setiap hari. Yang pasti, tidak ada kata menyerah di dalam kamus hidupnya, meski kondisi fisiknya membuat dia agak sulit berjalan.
“Hidup itu disyukuri saja. Ada uang ya alhamdulillah kalau tidak ada ya memang belum rezekinya saja,” katanya.
Ya, kaki kanan Bowo memang lebih kecil dibanding kaki kirinya. Jalannya terpincang-pincang, tapi Bowo tak pernah menggunakan alat bantu tongkat atau kursi roda.
“Dari lahir kena polio,” ucap dia singkat sembari sedikit memijat kakinya yang kemarin terpleset di kamar mandi.
“Habis itu saya kecelakaan di daerah Kupang, saya naik motor ditabrak dari belakang. Saya udah nyalakan sen ke kiri tapi disalip dari kiri. Akhirnya jatuh motor saya berputar,” ujar dia mengenang kejadian lampau yang dialaminya.
Beruntung, seorang tukang becak mengenalinya lalu mengantarnya pulang. Kejadian itu sempat membuat Bowo tak bisa berjalan, dan hingga kini enggan mengendarai sepeda motor.
“Setiap hari kalau ke mana-mana diantar saudara,” sambung dia.
Pria berusia 55 tahun tersebut sebenarnya berasal dari Pare, Kediri yang merantau ke Surabaya dengan harapan bisa mengubah nasib.
Sekarang dia menetap di sebuah kos-kosan berdinding merah yang berada tepat di depan KBS.
“Saya dulunya penjual jagung rebus di kampung. Terus bantu orangtua di sawah,” kenang dia.
Akibat keterbatasan ekonomi, Bowo hanya mampu melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang SMP. Beruntung, sang kakak mengajarinya cara memotret untuk menambah skill.
“Belajar ngefoto sampai jatuh-jatuh, lah kakak saya nyuruh posisi kakinya harus ginilah, gitulah, angle-nya harus pas. Tidak asal-asalan,” sambung dia.
Setelah dirasa memiliki bekal yang cukup, pada tahun 1989, Bowo lantas diajak kakaknya merantau ke Surabaya untuk bekerja sebagai fotografer.
Model pertama yang dia potret adalah para pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Putat Jaya, atau yang dulu dikenal dengan nama lokalisasi Dolly.
“Dulu pertama kali ngefoto itu di Putat Jaya, tempat lokalisasi,” tutur dia.
Pada era 90-an, Surabaya memiliki beberapa kawasan aktif yang menjelma sebagai lokasi prostitusi saat malam hari.
Bahkan saat itu Dolly digadang-gadang sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Phat Pong, Thailand.
PSK dengan polesan make up dan pakaian seksinya duduk di depan teras wisma-wisma yang berjejer untuk menunggu pelanggan. Di saat itulah Bowo menawarkan jasa foto.
“Saya bawa beberapa fotonya bintang film terus mereka pilih mau direpro sama siapa. Saya fotonya pakai kamera analog, tapi lensa depannya ditambah kaca pembesar,” sambung dia.
Zaman dulu, repro foto atau menyalin utuh dari foto yang sudah jadi dilakukan secara manual. Berbeda dengan saat ini yang mudah menggunakan aplikasi atau AI untuk membuat rekayasa foto.
“Kalau sekarang tinggal diedit. Dulu fotonya dipotong terus ditempelkan dipoles pakai spidol. Jadi seolah-olah pelanggan berfoto dengan model bintang film itu,” kata dia.
Bowo menyadari, menawarkan jasa repro foto ke pelanggan kalangan PSK bukanlah hal mudah. Dia harus memiliki benteng agar dirinya tidak ikut menjadi pelanggan.
“Di sana pengaruhnya kuat sekali. Saya berani terjun ke situ karena punya bekal, kalau tidak pasti ikut anak-anak di situ,” ucap dia.
Suatu ketika, Bowo pernah diminta seorang PSK untuk difoto tanpa busana. Dengan lantang Bowo langsung menolak dengan alasan takut membawa sial.
“Teman saya ada yang ditawarin foto telanjang terus besoknya dia sial. Tiga hari tidak dapat pelanggan, makanya saya tidak mau,” kata dia sambil mengingat momen itu.
Selama 25 tahun bekerja sebagai fotografer di kawasan lokalisasi, Bowo pun paham dengan seluk beluk Gang Dolly yang kini sudah ditutup permanen, sejak kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
“Sejak ditutup sudah tidak pernah ke sana lagi, terus geser di sini (KBS) terus sampai sekarang. Kalau sebelumnya pagi di sini, malam di sana,” sebut dia.
Lalu, selama 36 tahun menggeluti bidang fotografi, Bowo mangaku lebih nyaman menggunakan kamera analog Canon STB dibanding digital yang baru dia pakai sejak tahun 2010.
“Dulu jadi fotografer itu sulit. Kalau pakai analog kuncinya cuma tiga; diafragma, kecepatan, dan meteran. Kalau meteran tidak sesuai hasilnya kabur, kalau diafragma tidak sesuai jadi tipis,” sebut dia.
Teknologi semakin canggih, berbagai kemudahan mudah didapatkan. Tapi toh tak mengurangi kecintaan Bowo terhadap dunia fotografi.
“Menurut saya fotografer itu pekerjaan ringan dan nggak berat. Makanya saya dalami pekerjaan ini sampai 36 tahun,” ucap dia.
Meninggalkan istri dan kedua anaknya di kampung halaman, Bowo tak tahu sampai kapan harus menetap di Surabaya. Apalagi sekarang usianya sudah tidak muda lagi.
“Masih belum (pulang kampung), tapi seminggu sekali saya pulang. Mungkin sampai 60 tahunan saya di sini, saya masih kuat juga kok,” cetus dia.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/17/113535478/idap-polio-tak-batasi-langkah-bowo-jadi-fotografer-keliling-di-kbs