Pria berusia 70 tahun itu duduk di sebelah sepeda tuanya yang telah dipenuhi karat namun masih cukup kuat untuk menopang gerobak berisi mainan yang dijajakannya kepada anak-anak maupun orang tua murid yang tengah menjemput buah hati mereka.
“Dibeli, dibeli,” ucapnya lirih, masih kalah dengan suara kendaraan yang lewat silih berganti.
Ayah 5 anak itu menawarkan mainan-mainan yang cukup terjangkau untuk saku anak-anak sekolah dasar, yaitu berkisar Rp 2.000 hingga Rp 10.000.
Ada berbagai jenis mainan yang ditawarkan, mulai dari slime, boneka mini, penggaris gelang, mobil-mobilan, pistol mainan, hingga mainan edukasi puzzle rubik.
Menariknya, terdapat pula sebuah mainan tradisional tembak bambu yang dijual Rp 2.000 di antara mainan-mainan yang dijajakan pria yang telah berjualan selama 35 tahun itu.
“Dulu saya jualannya mainan-mainan (tradisional) begini tapi lama-lama kurang laku karena banyak yang milih mainan zaman sekarang,” urainya.
Namun karena kesukaannya pada mainan masa kecilnya, dia berupaya untuk tetap menyelipkan mainan tradisional untuk dikenalkan kepada anak-anak sehingga permainan turun temurun tak hilang ditelan waktu.
“Sekarang cuma bawa sedikit-sedikit, biar anak-anak tahu,” ujarnya.
Tak hanya tembak bambu, Ahmad menyesuaikan dengan mainan yang ada di pasar saat dia beli grosir di pasar. Terkadang layang-layang, kelereng, ketapel, hingga bekel.
“Musiman, yang saya bawa yang ada dari pasar,” tuturnya.
Dari penghasilannya menjual mainan, Ahmad bisa membawa pulang keuntungan bersih Rp 35.000 hingga Rp 50.000 per hari.
Berangkat dari rumahnya di Kelurahan Lateng, Kecamatan Banyuwangi pukul 6 pagi, hingga selesai berjualan di jam terakhir kelas pukul 2 siang.
“Rata-rata Rp 35-50 ribu. Buat makan sehari-hari, kalau lebih buat modal kulakan lagi,” katanya.
Telah berjualan puluhan tahun, Ahmad mengaku tak pernah mengalami kejadian yang merugikan, namun biasanya kala hujan, dia harus rela tak berjualan sebab tak ada tempat untuk berteduh.
“Kalau hujan terpaksa pulang dulu, jadinya bawa uangnya lebih sedikit,” tuturnya.
Di era gempuran modernisasi, Ahmad mengaku tak khawatir jualannya tak ada yang beli, karena ia percaya konsep rezeki yang telah diajarkan agamanya.
“Yang penting sudah jualan, tidak minta-minta, nanti pasti ada saja rezekinya,” yakinnya.
Sementara itu, salah satu siswa sekolah dasar tempat Ahmad berjualan mengaku sering membeli mainan di Ahmad karena harganya yang murah sehingga ia bisa membeli mainan dari uang saku yang diberikan orangtuanya.
Farel juga membeli tembak bambu Ahmad dan mengaku tertarik dengan mainan tersebut karena mainan tradisional itu terasa asing baginya tapi tetap tampak menarik untuk dimainkan.
“Belum pernah lihat, pas dicoba seru,” ujar siswa berusia 8 tahun itu.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/14/080926678/35-tahun-cari-nafkah-dari-jual-mainan-ahmad-gigih-bertahan