Suasana tersebut berbeda dari hari-hari biasa, karena Taufik menggelar ritual Tedak Siten untuk putri sulungnya, Ummu Zahra Rosyidah, yang telah berusia 8 bulan.
Tedak Siten merupakan ritual yang dilakukan untuk menandai langkah pertama seorang anak di atas tanah, yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan istilah tujuh lapan, setara dengan 245 hari atau sekitar 8 bulan dalam kalender Masehi.
Meskipun tradisi ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa, tidak sedikit yang telah meninggalkannya di era modern ini.
Di beberapa daerah, Tedak Siten juga dikenal dengan istilah 'Mudun Lemah' dan memiliki variasi dalam pelaksanaannya.
Di Desa Kalipare, penduduknya tidak hanya terdiri dari orang Jawa, tetapi juga orang Madura.
Dalam konteks ini, orang Madura mengadaptasi tradisi tersebut dengan sebutan 'Toron Tanah', yang berarti turun ke tanah.
Mengacu pada laman Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, Tedak Siten berasal dari kata "tedhak" yang berarti "menapakkan kaki" dan "siten" yang berasal dari kata "siti" yang berarti "bumi" atau "tanah".
Ritual ini dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada bumi, tempat anak mulai belajar menginjakkan kaki.
Ritual Tedak Siten di rumah Taufik dipenuhi dengan makna.
Prosesi ini diiringi oleh doa-doa dari orang tua dan sesepuh, yang diharapkan dapat membawa kesuksesan bagi anak dalam menjalani kehidupannya.
Setiap perlengkapan yang disiapkan selama prosesi mengandung simbol-simbol yang kaya makna.
Dalam pelaksanaan Tedak Siten, keluarga Taufik menggabungkan budaya Jawa dan agama Islam.
Para undangan mengelilingi tujuh kue tetal dan wajik yang ditata di sisi kanan dan kiri tangga dari batang tebu, sambil membaca selawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Tangga tersebut terdiri dari tujuh anak tangga yang dihiasi dengan beragam buah-buahan dan jajanan pasar.
Selama pembacaan selawat, Ummu Zahra dituntun untuk menapaki tujuh kue tetal dan wajik, serta melewati tangga tebu sebanyak lima kali.
KH Chozin Aliwafa, salah satu tokoh masyarakat yang memimpin prosesi, menjelaskan bahwa kue wajik dan tetal sebanyak tujuh biji melambangkan perjalanan Nabi Muhammad SAW ke langit ketujuh dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
"Naik turunnya lima kali, sebagai simbol perintah shalat dalam Islam, yang dikerjakan lima waktu dalam sehari, dengan harapan anak ini nantinya rajin menjalankan ibadah shalat lima waktu," ungkapnya.
Setelah menapaki tangga, anak Taufik dituntun untuk memilih salah satu dari beberapa barang yang diletakkan dalam anyaman tampah, yang berisi kitab suci Al-Quran, alat tulis, jagung, uang, dan baju.
Kyai Chozin menambahkan bahwa setiap barang tersebut mengandung simbol doa orang tua.
Ummu Zahra memilih alat tulis, yang berarti harapan orangtuanya agar dia menjadi anak yang pandai dan cerdas.
"Itu berarti perwujudan doa dan harapan orangtuanya semoga kelak dia menjadi orang yang pandai dan cerdas," pungkasnya.
Setelah semua prosesi selesai, Kyai Chozin memimpin doa dan semua kue yang ada dibagikan kepada sanak saudara untuk dinikmati bersama.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/13/123814178/melihat-tradisi-tedak-siten-di-kalipare-malang-tradisi-yang-sudah-jarang