Salin Artikel

45 Tahun Wak Dul Penjual "Rambut Nenek" Bertahan di Tengah Banjirnya Makanan Siap Saji

Suara "Ngik.. Ngok.. Ngok.. Ngik... Ngok..." itu berhasil menarik perhatian anak-anak yang ingin menikmati jajanan tradisional berbahan gula pasir yang telah dikenal sejak lama.

Abdul Sakrip (73) adalah penjual arbanat keliling asal Desa Gejugjati, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Dengan penuh kesabaran, ia melayani permintaan siswa-siswa yang ingin menikmati "rambut nenek" kesukaan mereka.

"Beli berapa nak, sabar ya," ujarnya sambil membuka kaleng berisi potongan arbanat.

Dengan telaten, Wak Dul memasukkan arbanat ke dalam kantong plastik, yang dihargainya antara Rp 3.000 hingga Rp 10.000, tergantung ukuran.

"Lima ribu ya nak, ini hati-hati di jalan," pesan Wak Dul, memberikan nasihat kepada salah satu pembelinya setelah menerima uang.

Menjadi penjual arbanat adalah panggilan hidup bagi Wak Dul. Ia telah menjalani profesi ini sejak tahun 1980, ketika masih lajang.

Ia mengaku menikmati pekerjaan ini meskipun harus berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya.

"Saya sudah hafal sekolah mana saja yang kira-kira ramai pembelinya. Saya menunggu jam istirahat atau jam pulang sekolah," kata Wak Dul sembari menutup kalengnya rapat.

Setiap pagi, Wak Dul mengendarai motornya menuju Kota Pasuruan dengan arbanat yang sudah disiapkan di rumahnya.

Selain menjajakan arbanat di sekolah, Wak Dul juga menjualnya di tempat-tempat keramaian seperti alun-alun Kota Pasuruan atau sekitar GOR di Jalan Sultan Agung.

"Motor saya parkir, terus saya keliling alun-alun atau nunggu jadwal pulang sekolah," ujarnya.

Setiap hari, meski jualan tidak selalu habis, Wak Dul tetap bersyukur karena diberikan kesehatan.

Dalam satu kali berkeliling, ia membawa tiga kaleng arbanat seberat tiga kilogram yang digantung di badannya.

Ia juga tak lupa membawa alat musik mirip biola sebagai penanda kehadiran penjual arbanat.

"Saya yakin arbanat tetap disukai di tengah banjirnya makanan ringan siap saji," tuturnya dengan senyuman.

Arif, salah satu penikmat arbanat Wak Dul, mengungkapkan kecintaannya pada jajanan ini yang mengingatkannya pada masa kecil.

"Saya sering beli, biasanya di alun-alun atau di depan sekolah SD Bangilan. Rasanya masih original, gula asli," ujarnya.

Meski kedua anaknya telah bekerja dan berkeluarga, Wak Dul menegaskan bahwa ia tidak ingin menjadi beban bagi mereka.

Wak Dul menjaga fisiknya agar tetap sehat, dia mengatur waktu agar tidak terlalu lelah.

Sebelum berangkat berjualan, ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan dan membawa air mineral sebagai bekal.

"Kalau pulang ya jam 1 siang. Jangan lupa juga sholatnya dijaga," pungkasnya.

Dengan sikap dan pandangan hidup yang positif, Wak Dul tetap melanjutkan tradisi menjajakan arbanat, menjaga keaslian jajanan ini di tengah arus modernisasi.

Dia adalah contoh nyata bahwa pilihan hidup yang sederhana namun penuh makna dapat memberikan kebahagiaan tersendiri.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/10/191104978/45-tahun-wak-dul-penjual-rambut-nenek-bertahan-di-tengah-banjirnya-makanan

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com