Salin Artikel

Sambal Tumpang, Tempe Busuk yang Disulap Jadi Kuliner Bercitarasa Gurih

KEDIRI, KOMPAS.com- Sambel tumpang merupakan makanan yang sangat familiar bagi masyarakat di wilayah Mataraman atau Jawa Timur bagian barat hingga Jawa Tengah bagian timur.

Di Kediri, masakan tradisional berciri khas kuah kental mirip saus dengan citarasa gurih dan aroma semangit itu masih lestari. Bahkan, termasuk makanan harian hingga saat ini.

Sebagai sambal kuah, makanan ini merupakan pelengkap nasi. Terutama nasi panas sehingga cocok untuk hidangan pagi maupun malam.

Sambal tumpang juga kerap dilengkapi dengan penambahan topping. Mulai dari rebusan kecambah, daun pepaya, hingga pepayanya sendiri.

Tak lupa juga dengan lauk yang menggoda. Lazimnya adalah tahu, tempe goreng, dan rempeyek. Juga ada telor hingga daging goreng.

Daur ulang

Bagi yang belum tahu, makanan yang cukup lezat ini ternyata berasal dari bahan daur ulang, yaitu tempe yang sudah membusuk.

Ya, di tangan peradaban yang kreatif dan inovatif, tempe yang sudah tidak bisa dikonsumsi itu diolah kembali sedemikian rupa dengan penambahan aneka rempah-rempah menjadi sebuah makanan baru.

Di Kediri, sambal tumpang ini mudah sekali ditemukan karena juga sudah berkembang menjadi entitas bisnis dan banyak dijajakan oleh masyarakat.

Salah satunya adalah Warung Garuda yang berada di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Pakelan, Kota Kediri. Tepatnya di pinggir jalan sebelum tikungan Klenteng Tjoe Hwie Kiong.

Warung yang buka hanya hari Selasa-Minggu pagi mulai jam 6 sampai jam 10 itu merupakan salah satu warung jujukan masyarakat hingga para pelancong.

Selain tumpang, warung yang berciri citarasa masakan pedas ini juga menyediakan menu sambel pecel dan rawon.

Awal (50), pemilik Warung Garuda, mengatakan, setiap hari dia mampu menghabiskan hingga sekitar 20 kilogram beras. Pecel dan tumpang tetap menjadi menu yang paling digemari pelanggannya.

“Nasi tumpang juga pecel campur tumpang yang dominan,” ujar Awal kepada Kompas.com, Minggu (24/11/2024).

Selain menu utama tersebut, dia juga menjajakan aneka lauk tambahan mulai dari perkedel asli kentang, tahu dan tempe goreng, hingga aneka sate mulai kerang dan jeroan ayam.

Sebagai penghilang dahaga, selain es teh hingga es jeruk, dia juga menyediakan minuman tradisional, yaitu es sari kedelai.

Soal harga, dia mematok harga serba Rp 9.000 untuk nasi tumpang maupun nasi pecelnya. Lauk perkedel Rp 3.000 dan sate bekicot Rp 2.000.

Dengan citarasa unggulannya itu, banyak pembeli yang akhirnya menjadi pelanggan tetap.

Salah satunya adalah Desta, yang termasuk pelanggan tetap dan bahkan kerap mengundang kuliner tumpang Garuda untuk hajatan yang digelarnya.

“Sebab di sini citarasanya khas. Kelezatannya berpadu dengan rasa pedas. Menunya juga komplet. Kalau dinilai skala 1-10, saya kasih nilai 9. Nyaris sempurna,” ujar pria yang juga seorang dosen ini.

Cara masak sambel tumpang

Awal mengatakan, cara pembuatan sambel tumpang relatif mudah. Bahan tempe busuk tersebut tinggal direbus dengan aneka rempah seperti bawang merah dan bawang putih, garam, hingga santan.

Karena citarasa pedas, dia menambahkan hingga 3 kilogram cabai. Itu untuk kebutuhan jualan hariannya.

“Bikinnya mudah kok. Semua orang bisa. Semua bahan itu direbus hingga mengental,” ungkapnya.

Dalam fase merebus itu, menurutnya tidak boleh berlama-lama. Sebab bisa menyebabkan masakan menjadi hitam dan cenderung pahit.

Soal citarasa dan kelezatan, menurut pedagang yang sudah menjalankan usahanya dari generasi ke generasi ini salah satunya terletak pada kualitas tempenya.

Tempe itu ada yang memang busuk karena sortiran pasar tetapi juga ada tempe yang sengaja dibusukkan untuk pembuatan tumpang.

“Dan tentu juga dipengaruhi oleh tangan pemasaknya,” pungkas Awal yang pernah merantau di Bali itu.

Itu banyak tergambar dari sejumlah peninggalan arkeologis berupa prasasti hingga candi. Seperti pada relief di Candi Borobudur yang menggambarkan makanan dalam tungku.

“Kesimpulannya, makanan yang memadukan sekian banyak bahan dan bumbu tertentu sudah ada sejak zaman munculnya tata kehidupan masyarakat,” ujarnya.

Begitu juga dengan sambal tumpang, yang banyak ditemukan di wilayah Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah bagian timur, sudah dikenal lama.

Setidaknya, kata dia, jejak sejarahnya bisa ditemukan dalam catatan Serat Chentini tahun 1814 hingga 1823 atau sekitar dua abad lalu. Itu adalah catatan pengembaraan yang menuliskan ragam kehidupan masyarakat Mataraman termasuk makanannya.

Sedangkan secara semiotik, kata Sigit, sambel tumpang merupakan hasil kreasi makanan yang timbul akibat krisis pangan di era kolonial. Era pelarian Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang mengarah ke timur.

Tempe yang sudah basi kemudian diolah kembali dengan penambahan rempah yang keberadaannya mudah didapat di sekitar, sehingga menjadi menjadi makanan baru yang layak konsumsi.

“Kalau saya sendiri, sambel tumpang adalah muncul karena krisis pangan pada era kolonial. Makanan kemarin tetap diolah lalu ditambah bumbu tertentu melahirkan makanan baru,” ujarnya.

Dahulu, makanan tersebut merupakan makanan yang kurang populer dan hanya untuk kalangan bawah.

Namun seiring waktu, karena bahannya yang mudah didapat dan citarasanya ternyata banyak yang suka, akhirnya bisa bertahan hingga saat ini.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/11/26/105532378/sambal-tumpang-tempe-busuk-yang-disulap-jadi-kuliner-bercitarasa-gurih

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com