Salin Artikel

Jejak Akulturasi Jawa dan Tionghoa dalam Kenyalnya Tahu Takwa Kediri

KEDIRI, KOMPAS.com - Sebagai salah satu peradaban tua di Jawa Timur, Kediri mempunyai aneka ragam kuliner yang cukup menarik.

Sejumlah jenis kuliner itu hasil akulturasi budaya dari asing. Salah satunya adalah tahu kuning atau juga biasa disebut tahu takwa.

Tahu tersebut secara visual cukup berbeda dengan tahu pada umumnya. Mulai dari bentuknya yang sama-sama kotak tapi lebih tebal, tekstur padat tapi kenyal, serta warna kuning yang mencolok.

Selain bentuknya yang khas, tahu itu juga mempunyai kelebihan. Daya tahan yang relatif lama hingga rasa gurihnya yang terasa karena bisa langsung dimakan.

Tahu kuning yang merupakan produk akulturasi budaya itu berkembang dari makanan harian menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan.

Pembuatannya mulai dari skala rumahan hingga industri, termasuk sebagai buah tangan.

Sehingga, keberadaan tahu tersebut banyak dijajakan di titik-titik strategis usaha. Sampai-sampai Kediri dikenal juga sebagai Kota Tahu.

Kampung tahu

Selain pada rumah-rumah yang menjadi tempat usaha, pembuatan tahu juga tersebar dalam skala kawasan atau sentra. Jumlah sentra tahu ini ada beberapa.

Di antara yang terbesar adalah sentra tahu Kampung Tinalan di Kota Kediri. Di sini ada sekitar 30 perajin yang rata-rata adalah generasi kedua.

Berkunjung di kampung ini bisa melihat langsung bagaimana kedelai bisa berproses menjadi makanan berprotein tinggi.

Salah satunya adalah tempat pengolahan tahu milik Siswanto yang melabeli produk tahunya dengan nama Mar ini. Aktivitas pembuatan tahu memakan waktu sekitar 6 jam lamanya.

Proses tersebut dimulai dengan pembersihan dan perendaman kedelai sebagai bahan dasar. Lalu tahapan penghalusan menjadi semacam bubur kedelai, penyaringan hingga perebusannya.

“Dipres dengan cara ditindih. Itu yang membuat padat. Jadi, satu potong tahu kuning ini bahannya setara dengan dua potong tahu umumnya,” ujar Siswanto pada medio November 2024.

Pembeda lainnya adalah perebusan terakhir. Pada tahapan akhir inilah warna kuning mencolok itu mulai muncul.

Warna kuning itu didapat melalui dua bahan yang berbeda. Pertama, menggunakan serbuk kunyit dan yang kedua adalah penggunaan pewarna makanan.

“Kalau untuk yang tahu premium pakai kunyit, tapi kalau untuk pasaran ya pakai pewarna makanan,” lanjut Siswanto.

Dua bahan tersebut aman dikonsumsi. Namun belakangan penggunaan pewarna makanan banyak diaplikasikan karena dianggap lebih simpel dan ramah ongkos produksi.

Pada perebusan akhir itu juga diikuti dengan penambahan garam sebagai penambah citarasa gurih, lalu ditutup dengan tahapan pengeringan atau diangin-anginkan.

Dua proses akhir itu pula yang membuat daya tahan tahu menjadi relatif lebih lama daripada tahu biasa.

“Nanti pengemasannya menggunakan besek (kotak anyaman bambu),” pungkas Siswanto yang juga membuka lapak oleh-oleh tahu di Jalan Letjen Suparman Kota Kediri itu.

Sejarah tahu takwa

Dosen Sejarah Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri Sigit Widiatmoko mengatakan, tahu takwa mempunyai sejumlah keunggulan karena dibuat dari sari kedelai yang benar-benar halus dan berkualitas terbaik.

Nama takwa sendiri, menurutnya, bukan makna kepatuhan kepada Tuhan dalam konsep religi. Tetapi serapan dari nama Tiongkok menjadi pelafalan lokal atau Jawa.

“Dalam konteks asli taufu, lidah Jawa menjadi takwa,” ujar Sigit Widiatmoko, Kamis (21/11/2024).

“Penemuan arkeologis di Candi Klotok Kediri memperkuat bukti kedatangan orang-orang Tiongkok itu,” lanjutnya.

Seiring waktu, orang-orang Tiongkok itu tinggal dan menetap di Kediri yang otomatis juga membawa serta adat dan tradisi asalnya termasuk jenis makanannya, salah satunya tahu itu.

Apalagi, kata Sigit, wilayah Kediri yang subur memungkinkan banyak hasil pertanian yang menjadi bahan utama pembuatan tahu, yaitu kedelai. Ditunjang juga kondisi air yang mendukung.

Tahu yang mulanya beredar di kalangan komunitas Tionghoa itu lantas berkembang ke komunitas masyarakat lokal. Hal itu menurut Sigit karena pekerja lokal di komunitas tersebut.

Para pekerja lokal yang terbiasa membuat tahu itu lantas mempraktekkannya di rumah masing-masing, dengan pengembangan dan penyesuaian yang ada.

“Sehingga tahu menjadi berkembang dan bertahan hingga saat ini, bahkan menjadi industri,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/11/22/071207578/jejak-akulturasi-jawa-dan-tionghoa-dalam-kenyalnya-tahu-takwa-kediri

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com