Hal itu untuk mengantisipasi agar mahasiswa tersebut tidak kembali melakukan perbuatan yang sama.
Ketua PSG Unej, Linda Dwi Eriyanti, menjelaskan seharusnya pelaku pelecehan seksual itu tidak hanya mendapatkan sanksi. Kampus juga perlu memastikan pelaku tidak mengulang perbuatannya.
"Untuk ini, perlu penelusuran status kesehatan mental dia, yang artinya ketika mengalami gangguan seksualitas atau mental tertentu, kampus bisa mengeluarkan surat perintah untuk melakukan terapi dengan biaya sendiri,” kata Linda kepada Kompas.com, Kamis (21/11/2024).
Ketika sudah dilakukan terapi, kata dia, mahasiswa tersebut bisa kembali masuk kuliah jika ada surat terapi bahwa dia tidak mengalami gangguan mental atau memiliki kelainan seksual.
Hal itu untuk menjamin tidak terjadi kasus yang sama ketika kembali masuk kuliah.
Begitu juga dengan korban pelecehan, kampus harus bertanggung jawab melakukan pendampingan pemulihan pada mereka. Sebab, setiap korban memiliki mental yang berbeda.
"Bisa jadi dampaknya berbeda, bisa jadi ada yang depresi, kampus perlu menfasilitas pemulihan korban,” ujar dia.
Linda menilai seharusnya lembaga pendidikan aman dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Menurut dia, perguruan tinggi sudah memiliki peraturan terkait dengan pencegahan kekerasan tersebut. Bahkan sudah ada satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS).
“Secara normatif sudah ada aturannya sejak tahun 2021,” ujar Linda.
Dia menjelaskan adanya peraturan dan Satgas itu bisa meminimalisasi kekerasan yang ada di perguruan tinggi.
Hanya saja, lanjut dia, tak mudah menerapkan aturan, terutama terkait dengan pencegahan kekerasan seksual.
Bahkan, seringkali kekerasan seksual dianggap sebagai hal yang kurang serius.
“Rata-rata masih menganggap guyonan, bahkan hal yang kuran serius” ucap dia.
Jika mau serius, kata Linda, kampus harus menyiapkan berbagai upaya menghapus kekerasan seksual dengan menciptakan budaya anti-kekerasan.
“Ini tidak cukup hanya mengedarkan aturan, tapi bagaiman aturan itu dipahami,” tambah dia.
Linda menilai tidak semua civitas akademika perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, dosen maupun pegawai lainnya yang membaca peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Bisa poling kepada mahasiswa, siapa yang sudah membaca peraturan rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan kampus, bisa jadi dosen hinga petugas teknik tidak membaca,” ucap dia.
https://surabaya.kompas.com/read/2024/11/21/144839478/mahasiswa-minta-foto-perempuan-telanjang-psg-unej-pelaku-perlu-cek