Salin Artikel

Di Balik Kasus Penangkapan 3 Hakim di Surabaya dalam Kasus Dugaan Suap Ronald Tannur

Ronald Tannur adalah terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti, 29 tahun.

Pria berusia 32 tahun itu adalah anak politikus asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Edward Tannur.

Adapun tiga hakim ED, M, dan HH—yang ditangkap Kejagung—adalah majelis hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur dalam sidang putusan pada Rabu, 24 Juli 2024.

Belakangan Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan itu melalui sidang kasasi. Dan terungkap pula ada dugaan suap dari tiga hakim tersebut. Mereka kemudian ditangkap.

Berikut fakta-fakta perjalanan kasus Ronald Tannur yang sejauh ini diketahui:

Bagaimana perjalanan kasus Ronald Tannur?

Ronald Tannur, 32 tahun, adalah anak politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Nusa Tenggara Timur, Edward Tannur.

Ronald adalah terdakwa kasus penganiayaan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti, 29 tahun, hingga tewas.

Pada 24 Juli 2024, Ronald dibebaskan oleh tiga orang anggota majelis hakim PN Surabaya, yakni ED, M dan HH. Dalam sidang putusan, dia dinyatakan tidak terbukti menganiaya dan membunuh kekasihnya, Dini.

Sejumlah pemberitaan menyebutkan Dini tewas karena dianiaya dan dilindas mobil oleh Ronald. Tetapi dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan Dini meninggal akibat penyakit lain dan minum alkohol.

Putusan ini bertolak belakang dengan tuntutan 12 tahun penjara oleh jaksa. Vonis bebas kemudian ini menimbulkan kemarahan publik.

Tiga hakim itu kemudian dilaporkan oleh Komisi Yudisial ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung.

Pada Selasa (22/10), upaya kasasi jaksa penuntut dikabulkan Mahkamah Agung (MA). MA membatalkan vonis bebas PN Surabaya dan menjatuhkan pidana penjara lima tahun atas Ronald.

Dan sehari setelah putusan itu, Rabu (23/10), Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim PN Surabaya yang putusannya membebaskan Ronald Tannur.

Tim Kejagung juga menangkap pengacara Ronald Tannur berinisial LR.

Sejumlah pemberitaan menyebutkan Dini dianiaya di lokasi tempat hiburan karaoke, Rabu dini hari, 4 Oktober 2023.

Keterangan yang dihimpun dari keluarganya, Dini yang berasal dari Sukabumi, Jawa Barat, sudah 12 tahun bekerja di Surabaya.

Di dalam persidangan terungkap bahwa terduga pelaku sempat melindas sang kekasih dengan mobilnya.

Korban mengalami luka parah dan sempat dilarikan ke rumah sakit. Namun nyawanya tak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia. Jenazah Dini dimakamkan di Sukabumi, Jumat, 6 Oktober 2023.

Setelah Ronald Tannur divonis bebas pada Juli 2024 lalu, keluarga Dini Sera Afrianti mendatangi Komisi Yudisial (KY).

Pada Senin, 29 Juli 2024, mereka melaporkan tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas terduga pelaku.

Siapa hakim di PN Surabaya yang jadi tersangka?

Tiga hakim berinisial ED, M dan HH adalah hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Sejumlah laporan mengungkapkan mereka ditangkap tim gabungan Kejaksaan Agung di Surabaya, Rabu (23/10).

Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka indikasi suap atau gratifikasi.

ED, M dan HH adalah hakim yang memvonis bebas terduga pelaku penganiayaan Dini Sera Afriyanti, yaitu Ronald Tannur. Mereka disebutkan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Kejaksaan Agung.

Tiga hakim itu diduga menerima suap dalam perkara pembebasan Ronald Tannur atas kasus pembunuhan terhadap pacarnya, Dini Sera Afriyanti.

Sebelum ditangkap, tim Kejagung menggeledah apartemen ED dan menemukan uang Rp97 juta, S$32.000 dan 35.992,24 Ringgit Malaysia.

Di rumah ED di Semarang, tim Kejagung juga menemukan uang tunai US$6.000 , uang S$300.000 dan sejumlah barang elektronik.

Di apartemen HH, penyelidik menemukan uang tunai Rp104 juta,US$2.200, uang tunai 100.000 Yen, uang tunai S$9.100. Di tempat itu, juga ditemukan barang elektronik.

Di apartemen hakim M, tim penyelidik menemukan uang tunai Rp21,4 juta, US$2.000, S$32.000, dan barang elektronik.

Pengacara Ronald Tannur ditangkap

Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak hanya menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebagai tersangka. Mereka juga menetapkan pengacara Ronald Tannur, yaitu LR. Dia ditangkap di Jakarta.

Menurut Kejagung, tim penyelidik melakukan penggeledahan di apartemen LR di Jakarta Pusat.

Di sana, mereka menemukan uang dalam pecahan Dollar AS dan Dollar Singapura. Total nilai semuanya jika dirupiahkan setara Rp2,12 miliar serta catatan transaksi.

Di apartemen LR, tim penyelidik juga menemukan dokumen penukaran uang dan catatan pemberian uang kepada para pihak terkait.

Apa isi putusan Mahkamah Agung?

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum atas putusan bebas PN Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur.

Ini terkait perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Amar putusan itu disebutkan di laman Kepaniteraan MA, yang dikutip Rabu (23/10/2024).

MA menyatakan Ronald Tannur terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan alternatif kedua penuntut umum.

Karena itulah dia dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Ini artinya menganulir putusan bebas terhadap Ronald Tannur oleh PN Surabaya pada Juli 2024.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/10/25/152500478/di-balik-kasus-penangkapan-3-hakim-di-surabaya-dalam-kasus-dugaan-suap

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com