Hingga saat ini,mereka memanfaatkan ilalang sebagai bagian dari arsitektur atap bangunan. Hal tersebut terlihat di bangunan sakral atau makam leluhur seperti makam Buyut Semi, Makam Buyut Cungking hingga Buyut Cili yang atapnya tetap menggunakan ilalang.
Jam'i Abdul Gani (73), juru kunci Pesarean Buyut Cungking mengatakan pemanfaatan ilalang sebagai atap sudah dilakukan cukup lama dilakukan oleh masyarakat Using.
"Kalau menggunakan atap ilalang, di kemarau akan terasa lebih sejuk dan saat musim hujan, di dalam rumah lebih hangat," kata Jam'i pada Sabtu (6/7/2024).
Ia juga menjelaskan atap ilalang di makam Buyut Cungking biasanya akan diganti setiap enam tahun sekali. Saat itu lah, masyakarat sekitar akan gotong royong untuk membuat atap ilalang yang dipasang di pesarean Buyut Cungking.
"Saat itu, warga berkumpul, kerja bakti dan bersama-sama membuat atap ilalang. Jadi warga rukun dan guyub semuanya," ungkap dia.
Dalam perkembangannya, atap ilalang mulai dilirik saat pariwisata di Banyuwangi mulai menggeliat. Pemesanan ilalang pun mulai berdatangan untuk hotel, restoran hingga tempat wisata.
Peluang tersebut dilirik oleh Budi Hartono (47) dan rekannya, Slamet Diharjo (45). Mereka pun mulai mengolah dan menganyam ilalang di sanggar Umah Suket Lalang yang berada di Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
"Waktu itu makam Mbah Semi, gandrung perempuan pertama di Banyuwangi. Saya ikut mengganti atapnya dengan ilalang. Kemudian kepikiran kenapa atap ilalang ini tidak dikembangkan?," kata dia Minggu (7/7/2024) saat ditemui di Desa Taman Suruh.
Pemilik sanggar seni Sawah Art Space itu pun menggandeng rekannya Budi Hartono yang akrab dipanggil Cak Bud untuk mengembangkan anyaman ilalang serta memberdayakan masyarakat Desa Taman Suruh.
Pada saat pandemi Covid-10, mereka banyak memanfaatkan waktu dengan ngarit' atau mencari ilalang yang kemudian dikeringkan dan dianyam.
"Alhamdulilah pesanan semakin banyak dari kafe-kafe, tempat wisata, restoran untuk atap. Sekarang tukang ngarit'ada tujuh orang. Kalau bagian menganyam, ada empat orang, ibu-ibu tetangga rumah," kata Cak Bud, Minggu.
Ia bercerita, ilalang yang digunakan untuk anyaman adalah ilalang dengan tinggi satu meter yang kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari sebelum akhirnya dianyam.
"Setelah dianyam akan dikeringkan ulang hingga benar-benar kering. Jika digunakan sebagai atap, bisa bertahan hingga 9 tahun," kata Cak Bud.
Untuk satu lembar ilalang yang sudah dianyam dijual Rp 15.000 dan mereka merambah ke penjualan online.
"Awalnya enggak nyangka, ternyata laku juga dijual di market place," ungkap dia.
Sementara itu Saman (51), salah satu warga Desa Taman Suruh bercerita sejak tiga tahun ini ikut 'ngarit' mencari ilalang. Dalam satu hari, dia bisa menumpulkan 30 rit ilalang.
"Carinya enggak jauh-jauh, paling di perumahan baru, lahan-lahan kosong Enggak sulit carinya," kata Saman.
Ia mengaku tantangan saat mencari ilalang adalah tawon yang kerap dijumpai di lahan-lahan yang penuh ilalang.
"Kalau ular jarang, tapi tawon yang kecil. Wah bahaya beberapa kali saya disengat. Selain itu ilalang ini kan tajam, jadi yang sering kena," katanya sambil menujukkan bekas luka di pergelangan tangannya saat mencari ilalang.
"Tapi hasilnya cukup buat tambahan kebutuhan sehari-hari," kata pria itu sambil tertawa.
Hal senada juga disampaikan oleh Cak Sul. Dia mengaku tak kesulitan mencari ilalang karena masih banyak lahan kosong di wilayah Banyuwangi.
"Pernah ada lahan kosong di belakang hotel penuh ilalang. Ya kami ambil di sana. Di perumahan yang belum jadi juga banyak. Jadi enggak kesusahan juga. Yang punya lahan senang karena bersih, kami juga dapat bahan baku untuk menganyam," kata dia.
Untuk melestarikan anyaman dari ilalang, mereka menggelar worksop pemanfaaatan ilalang sebagai bahan eksterior dan interior bangunan.
Workshop bertema Rancang Ilalang itu berkolaborasi dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kemendikbud Ristek.
Peserta workshop yang diadakan pada tanggal 7-8 Juni 2025 di Umah Suket Lalang itu diikuti oleh pelajar dan anak-anak muda dari sekolah adat Pesinauan.
Cak Bud mengajarkan teknik menganyam ilalang. Yang pertama adalah menyiapkan tiga bambu yakni satu bungkon dan dua jalen dari bambu yang kemudian diikat dengan tali branding yang disebut teknik belok.
Teknik yang kedua adakah sepeg yakni mengikat segenggam kecil ilalang lalu diikat menjadi satu. Sementara teknik yang ketiga adalah selimpet yang memanfaatkan satu bungkon dan satu jalen yang kemudian ditali.
"Yang penting harus sabar saat menganyam dan kalau bisa menggunakan sarung tangan dan baju lengan panjang agar tidak gatal," kata Cak Bud.
Pelatihan hari itu, para peserta belajar menganyam dengan teknik selimpet. Tak hanya untuk atap rumah, ilalang juga bisa dibuat sebagai hiasan di rumah hingga untuk dinding rumah.
"Bisa diwarnai, tapi yang bagus ya warna aslinya," kata Cak Sul menambahkan.
Sementara itu salah satu peserta pelatihan, Laras (13) mengaku tak kesulitan saat belajar menganyam ilalang. Siswi SMP itu mengaku menyukai semua hal terkait seni dan tradisi.
"Suka belajar seperti ini. Nanti belajar cara menganyam yang lain lagi," kata gadis yang suka menari itu.
"Semakin banyak yang bisa kan semakin bagus," kata dia. Susiani mengaku sudah tiga tahun terakhir ini menganyam ilalang di Umah Suket Lalang dan hasilnya bisa untuk kebutuhan rumah tangga.
"Mau kerja di sawah, tenaga sudah enggak kayak dulu. Biasanya mulai menganyam mulai jam 9 pagi sampai sore. Awalnya ya diajari juga sama Cak Bud," kata dia.
Sepert Cak Sul dan Cak Bud, Susiani pun berharap agar tradisi menganyam ilalang ini bisa terus dan dilestarikan oleh anak-anak muda.
"Penggunaan ilalang ini lebih alami. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikannya?," kata dia.
https://surabaya.kompas.com/read/2024/07/09/112100478/menganyam-ilalang-menjaga-tradisi-suku-using-di-umah-suket-lalang