Hal tersebut salah satunya terlihat dalam pasal yang disebut paling kontroversial, yakni Pasal 56 Ayat 2 C, terkait pelarangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
Irfan mengatakan, RUU tersebut berpotensi memudahkan pemerintah membatasi berita yang dianggap meresahkan.
“Penyelesaian masalah pers seharusnya melibatkan lembaga yang menangani etika pers. Jadi ada hak jawab dari narasumber yang merasa keberatan," kata Irfan, di Unair Surabaya, Kamis (16/5/2024).
Oleh karena itu, kata dia, RUU penyiaran dinilai mengacam kebebasan pers, padahal pers merupakan pilar penting bagi demokrasi Indonesia.
“Kritik itu hal yang wajar, tapi kemudian jangan sampai malah shoot the messenger gitu. Yang mana, malah mengkriminalisasi jurnalistik itu sendiri, ini masih menjadi PR bagi Indonesia,” jelasnya.
Irfan mengingatkan, semua pihak menyoroti RUU yang tengah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR tersebut. Sebab, berpotensi membangkitkan "Orde Baru" jika disahkan menjadi UU.
“Media harus hati-hati untuk tidak kembali ke masa pembredelan pers di era Orde Baru. Ketika mengkritik pemerintah, media harus bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan independensi institusi,” ucapnya.
Lebih lanjut, Irfan menyebut, peraturan itu juga membingungkan serta menimbulkan keresahan publik. Padahal, RUU itu wujud penyempurnaan dari undang undang nomor 32 tahun 2002.
“Permasalahannya terletak pada RUU penyiaran yang memiliki fungsi serupa dengan UU ITE dalam implementasinya. Sehingga, antar UU ITE dan RUU Penyiaran ini saling tumpang tindih dan memicu kebingungan dalam penanganan sengketa jurnalistik,” tutupnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2024/05/17/164009978/pakar-unair-kritik-ruu-penyiaran