Salin Artikel

Tempe Daun Pisang, Oleh-oleh Khas Magetan yang Diburu Pemudik Saat Lebaran

MAGETAN, KOMPAS.com - Tangan kanan Haryani (43), pengrajin tempe di Desa Terung, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, cekatan meraup segenggam kedelai yang telah diberi ragi ke susunan daun pisang yang dilapisi kertas di tangan kirinya.

Tangannya sudah terlatih selama 6 tahun terakhir menakar banyaknya kedelai untuk dibungkus menjadi tempe mendoan.

Haryani harus lebih cekatan memproduksi tempe itu karena permintaan selama libur Lebaran meningkat.

“Setiap tahun ada peningkatan permintaan kalau libur Lebaran, baik dari toko oleh-oleh khas Magetan maupun pesanan dari pemudik yang akan kembali ke kota tempat mereka bekerja sebagai oleh-oleh,” katanya saat ditemui di rumahnya, Senin (15/4/2024).

Haryani mengaku, setiap hari bisa menghabiskan 80 kilogram kedelai untuk produk tempe mendoan dan tempe untuk digoreng yang memiliki ukuran sekitar 5 sentimeter persegi.

Para pemudik biasanya akan berburu tempe biasa, sementara tempe mendoan biasanya sudah dipesan oleh toko oleh-oleh khas Magetan atau kafe.

“Peningkatannya bisa 100 kilogram kedelai kita masak untuk sehari. Pemudik biasanya mencari tempe biasa yang kita jual Rp 500 perbiji,” imbuhnya.

Tempe bungkus daun pisang

Pengrajin tempe di Desa Terung, Sumini mengaku selama libur Lebaran tempe biasa buatannya justru laku diburu oleh pemudik dengan langsung mendatangi rumahnya.

Dalam satu hari, dia mengaku bisa menghabiskan 10 kilogram kedelai untuk memenuhi permintaan pemudik.

“Biasanya hanya habis 5 kilogram kedelai, kalau Lebaran seperti ini banyak permintaan yang langsung ke rumah jadi kita naikkan 10 kilogram kedelai per hari,” katanya.

Kelebihan produk tempe dari Desa Terung, menurut Sumini, karena dibungkus menggunakan daun pisang yang membuat rasa dan aroma tempe berbeda dengan produk tempe dari desa lain yang dibungkus dengan menggunakan plastik.

“Kalau musim angin itu daun pisang sulit dicari karena daun pisang banyak yang hancur, biasanya juga mahal kalau pas musim seperti itu. Satu ikat biasanya Rp 5.000  bisa naik menjadi Rp 12.000 per ikat,” ucapnya.

Meski terjadi kenaikan ongkos produksi karena harga daun pisang naik, pengrajin tempe di Desa Terung tetap memilih menggunakan daun pisang untuk membungkus tempe produk mereka. Mereka juga enggan menaikkan harga jual tempe.

“Kami tetap menjual tempe dengan menggunakan bungkus daun pisang karena pembelinya tidak mau bungkus plastik. Rasanya pasti beda dengan tempe dengan bungkus plastik. Kata mereka lebih gurih dan baunya lebih wangi kalau menggunakan bungkus daun pisang. Kalau daun mahal kami memilih mengurangi untung, untuk menjaga pembeli biar tidak lari ke pengrajin tempe lain,” kata Sumini.

Perbedaan pengrajin tempe bungkus daun pisang lainnya, menurut Sumini, adalah cara memasak kedelai yang masih menggunakan kuali tanah dengan menggunakan kayu bakar yang akan menghasilkan kedelai bahan tempe memiliki rasa dan aroma yang khas.

Waktu masak kedelai dengan menggunakan kayu bakar juga lebih lama membuat pertumbuhan jamur pada tempe lebih bagus.

“Kami masih menggunakan cara tradisional sehingga bisa menghasilkan jamur dari ragi pada tempe lebih baik kualitasnya. Ini yang membuat rasa tempe bungkus daun pisang memilik rasa khas,” jelas Sumini.

Sulit tenaga kerja

Meski pangsa pasar tempe bungkus daun pisang terbuka lebar saat libur Lebaran, namun Haryani mengkau kesulitan mencari tenaga kerja pembungkus tempe karena kebanyakan warga memilih libur keja untuk berlebaran bersama sanak keluarga.

Satu-satunya cara bagi Haryani adalah dengan memberi insentif lebih kepada pekerjanya untuk tetap bekerja.

“Tenaga kerja kan susah karena pada libur, akhirnya kita minta pekerja Lebaran ke sanak keluarga pagi, malamnya baru lembur membungkus dengan uang ekstra lembur. Itu pun hanya beberapa orang yang mau, akhirnya kita menyesuaikan dengan tenaga kerja, kita mengambil pesanan sesuai kemampuan produksi," jelasnya.


Meksi jelang Lebaran ada kenaikan harga kedelai sebesar Rp 1.000, namun menurut Haryani masih bisa tertutup dengan banyaknya pesanan tempe bungkus daun pisang produknya.

“Ada kenaikan harga kedelai, sebelumnya Rp 10.500 per kilogram sekarang sekitar Rp 11.500 per kilogram. Masih bisa menutup untuk biaya produksi. Kalau harga jual kita tetap menjual Rp 500 per bijinya, tidak berani menaikakn harga takut mengecewakan pembeli," ujarnya.

Oleh-oleh khas pemudik

Didik, pemudik dari Bekasi mengaku membeli oleh-oleh tempe bungkus daun pisang karena di tempatnya membuka usaha sulit mencari tempe bungkus daun pisang.

Warga asli Magetan tersebut mengaku banyak perbedaan, baik dari rasa maupun aroma tempe berbungkus daun pisang dengan tempe yang terbungkus plastik.

“Rasanya beda banget, dari aroma sudah terasa bedanya belum rasanya. Kalau bungkus daun pisang itu lebih gurih terasa di lidah dan baunya benar-benar tercium saat digoreng, tercium gurihnya karena aromanya lebih kuat daripada tempe bungkus plastik,” urainya.

Didik harus berburu tempa daun pisang dengan mendatangi langsung pengrajinnya karena belum banyak dijual di toko oleh-oleh.

“Lebih murah kadang Rp 100 sampai Rp 200. Kalau ada toko display atau toko khusus menjual tempe, pemudik tidak akan kesulitan untuk mendapatkan oleh-oleh khas Magetan tempe bungkus daun pisang. Kecewanya kadang kita kehabisan pas mendatangi pengrajinnya,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/04/16/094408978/tempe-daun-pisang-oleh-oleh-khas-magetan-yang-diburu-pemudik-saat-lebaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke