Salin Artikel

Cerita Painah Perajin Lempeng Beras di Magetan, Tetap Produksi Saat Harga Beras Mahal demi Menghidupi Pekerja

Kemudian, tangannya mencolek nasi yang mengepulkan uap dan merasakan kekenyalannya.

Lalu, wanita 55 tahun ini mengambil centong kayu dan mulai memindahkan 25 kilogram nasi yang sudah masak ke cetakan kayu berbentuk kotak ukuran 1 meter X 50 centimeter.

“Sudah waktunya dicetak, nyetaknya harus panas-panas begini agar bisa mendapatkan kepadatan yang pas untuk menghasilkan lempeng yang bisa mengembang saat digoreng,” ujar Painah, Minggu (31/3/2024).

Painah seorang perajin lempeng beras. Ia tinggal di Jl Letjen Sutoyo, Kampug Banjar Mlati, Desa Sukowinangun, Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.

Sebenarnya, Painah mengalami kerugian sejak harga beras sedang tinggi. Hal itu sudah dirasakan sejak awal 2023.

Kala itu, harga beras berada di kisaran Rp 8.900. Pelan tapi pasti, harga terus naik dan sempat mencapai Rp 16.000 per kilogram pada dua bulan terakhir.

Kemudian, harga turun sekitar Rp 14.000 dan saat ini Rp 12.000.

Penurunan harga itu tak memberikan dampak signifikan. Painah mengaku belum bisa memulihkan modal penjualannya.

Namun, ia tak mau berhenti. Painah rela rugi demi nasib para pekerja dan juga pedagang yang mengandalkan produksinya.

“Kalau terlalu mahal kita nombok. Nomboknya untuk menjaga pedagang dan pembeli agar tidak lari nanti." 

"Kalau kita tidak buat lempeng ada 14 pedagang yang nanti tidak jualan, kasihan mereka,” imbuhnya.

Tetap membuat lempeng meski beras mahal

Dalam satu hari, Painah mengaku bisa menanak beras bahan lempeng seberat 55 kilogram. Itu ia masak dua kali.

Meski merugi, Painah tidak berani menaikkan harga lempengnya. Dia tetap menjual Rp 25.000 untuk 150 biji lempeng.

“Harga itu sudah setahun lalu, kita mau naikkan Rp 1.000 saja susahnya minta ampun. Padahal beras naiknya sampai Rp 7.000,” katanya.

Painah berani mengambil risiko merugi karena dia menyadari konsekuensi sebagai produsen lempeng.

Dia mengaku akan ada masanya beras turun dan waktunya dia mendapatkan keuntungan lebih.

"Tahun 2004, harga beras untuk bahan lempeng cuma Rp 2.000. Makanya saya berani buka usaha sendiri karena sebelumnya kerja sama tetangga."

"Untungnya ya bisa menyekolahkan dan menguliahkan 2 anak saya. Sekarang 1 sudah sarjana 1 masih SMA,” jelasnya.

Pada Bulan Ramadhan, dia mengaku ada peningkatan permintaan lempeng, Meski demikian, Painah tak bisa menaikkan harga.

Ia tetap bersyukur karena dengan banyaknya pembeli kerugian yang dia alami tak seberapa banyak.

“Lebih banyak kembali modal, tapi di bulan Ramadhan saya bisa menjual lebih mahal Rp 5.000 kepada pembeli."

"Kalau pedagang tetap 150 biji harganya Rp 25.000 kalau pembeli ke sini saya jual Rp 30.000. Lumayan ramai bulan puasa,” ucapnya.

Gantungan hidup pekerja

Selain harga beras mahal, kebutuhan kayu bakar selama Bulan Ramadhan juga naik. Biasanya dia membayar Rp 400.000 untuk satu pikap tetapi kini harus mengeluarkan Rp 500.000.

“Ini cuacanya sering hujan jadi lempeng harus dioven dengan kayu bakar. Kalau tidak begitu, tidak bisa digoreng. Kebutuhan kayu bajar akhir-akhir ini juga naik,” katanya.

Sayangnya tidak ada bantuan bagi pengraijn lempeng di Magetan untuk bisa mendapatkan beras bahan lempeng yang lebih murah.

Meski demikian, Painah mengaku masih akan menggeluti pekerjananya sebagai pembuat lempeng pada usianya yang kian senja.

“Tetap akan membuat lempeng nanti meski saat ini sulit, Semoga harga beras segera turun."

"Karena dari pekerjaan ini masih ada yang menggantungkan hidup baik untuk pekerja maupun pedagang keliling yang mengambil lempeng di sini."

"Mereka juga butuh penghidupan apalagi tak lama lagi Lebaran,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/04/01/105654778/cerita-painah-perajin-lempeng-beras-di-magetan-tetap-produksi-saat-harga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke