Salin Artikel

Cerita Marbut Masjid Wanita di Malang, Pekerjaan "Warisan" dari Sang Ayah

Ia duduk-duduk di lincak bambu yang memang sengaja diletakkan di sana.

Area parkiran di depan masjid itu juga berfungsi sebagai teras rumah Kibtiyah. Ya, rumah Kibtiyah terletak berdampingan dengan dinding masjid.

Rumah Kibtiyah tidak besar, hanya 5×7 meter dan dihuni tujuh anggota keluarga.

Rumah tersebut ditinggali oleh Kibtiyah sendiri, kedua adik beserta suaminya, keponakan, suami, sekaligus anaknya-anaknya.

Kibtiyah mengatakan menjadi marbut masjid Fathul Bari merupakan profesi warisan dari ayahnya, sejak masjid itu dibangun pada sekitar tahun 1940-an silam.

"Kini umur saya sudah sekitar 70 lebih. Sejak saya lahir saya tinggal di sini dan mengurus masjid ini sebagai marbut," ungkap Kibtiyah, Minggu (24/3/2024).

Meskipun bukan menjadi cita-citanya sejak kecil, Kibtiyah mengaku cukup bahagia dan ikhlas mengabdikan hidupnya menjadi marbut masjid Fathul Bari tersebut.

Kibtiyah bersama adik perempuannya menyapu lantai masjid setiap pagi dan sore hari, mulai dari dalam hingga ke halaman. Dia juga mencuci barang masjid yang sudah terpakai.

"Kalau yang menjadi muadzin setiap waktu salat adalah adik ipar saya," tuturnya.

Pekerjaan "warisan"

Kibtiyah menceritakan sejak masjid itu dibangun oleh seorang pengusaha setempat, H. Fathul Bari pada tahun 1940-an. Kemudian sang ayah, Sanimun dipercaya untuk mengurus masjid tersebut.

"Ayah saya pun benar-benar mengurus masjid ini hingga akhir hayatnya, kemudian berganti saya sebagai penerusnya," terangnya.

Pada masa ayahnya, tidak ada honor bagi marbut masjid. Namun sekarang, Kibtiyah cukup bersyukur dengan adanya honor Rp 800.000 per bulan untuk sekeluarganya.

"Honor itu didapat dari hasil pertanian aset milik masjid, yang dikelola oleh keluarga almarhum H. Fathul Bari," katanya.

Honor senilai Rp 800.000 per bulan untuk kebutuhan tujuh anggota keluarga Kibtiyah tentu tidak cukup. Namun, Kibtiyah tidak pernah khawatir. Ia yakin rezeki keluarganya sudah diatur oleh Allah SWT.

"Adik ipar saya kalau siang bekerja sebagai buruh tani. Kadang kami juga diberi bantuan oleh jamaah masjid dan warga sekitar. Dari situlah kebutuhan ekonomi kami tercukupi," jelasnya.

Kibtiyah mengaku menikmati profesinya sebagai marbut masjid itu. Ia justru merasa kehidupannya lebih tenang dan tentram.

"Belum tentu orang yang lebih kaya dari saya, akan lebih tenang dan tentram seperti saya. Bisa jadi mereka lebih pusing. Mungkin itu yang dinamakan keberkahan," imbuhnya.

Kibtiyah percaya, menjadi marbut masjid itu akan menjadi bekalnya di akhirat nanti.

Masjid Fathul Bari

Masjid Fathul Bari sendiri adalah salah satu masjid tertua di kawasan Kecamatan Pagelaran dan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Masjid itu dibangun oleh salah satu pengusaha penggilingan gula merah setempat, H. Fathul Bari pada sekitar tahun 1940-an dengan biaya 100 persen berasal dari pengusaha tersebut.

Pembangunan masjid bertujuan membangkitkan keimanan umat muslim di kawasan Desa Karangsuko, Kecamatan Pagelaran dan Desa Sukosari, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.

"Adanya masjid ini terbilang masjid pertama yang ada di kawasan Kecamatan Pagelaran dan Gondanglegi, Kabupaten Malang," jelasnya.

Pada masa awal keberadaan masjid tersebut, semua kegiatan beribadah di masjid dipimpin oleh KH Latifi bin Baidowi, salah satu tokoh agama setempat. Sedangkan kegiatan pengajian diampu oleh anak H Fathul Bari, H Jufri.

Menariknya, sejak awal pembangunan hingga saat ini, masjid seluas sekitar 30x30 meter itu tidak mengalami perubahan atau renovasi.

"Mungkin masjid ini menjadi salah satu dari sedikit masjid yang tidak mengalami perubahan struktur bangunan sejak awal berdirinya," tutur Kibtiyah.

Meskipun tidak pernah direnovasi, bangunan masjid itu tampak terlihat masih kokoh. Pilar-pilar pun tampak keasliannya serta masih menggunakan lantai marmer kuno, dengan arsitektur kuno bernuansa timur tengah.

"Arsiterktur masjid ini mengadopsi dari arsitektur masjid Nabawi, Mekkah," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/25/081238578/cerita-marbut-masjid-wanita-di-malang-pekerjaan-warisan-dari-sang-ayah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke