Salin Artikel

Menengok Tradisi Sedekah Bumi dan Gunungan Tempe untuk Sambut Ramadhan di Sidoarjo

Masyarakat mengarak sejumlah gunungan berukuran besar dengan isian tempe, buah dan sayur, dengan tujuan akhir Pendapa Balai Desa Sedenganmijen, Minggu (3/3/2024).

Kemudian, salah satu tokoh desa mendoakan sejumlah gunungan yang dibawa warga. Tak lama, mereka saling memperebutkan isi tumpeng dengan harapan memperoleh keberkahan.

Turun temurun

Kepala Desa Sedenganmijen, Mohammad Hasanuddin mengatakan, sedekah bumi atau ruwatan tersebut sudah diwariskan turun temurun, untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Sedangkan, desa tersebut sengaja membuat gunungan tempe sebagai tumpeng utama. Sebab, wilayah tersebut terkenal dengan penghasil makanan dari olahan kedelai itu.

"Inspirasinya kami ambil dari Wonosalam (Jombang) yang punya banyak durian sehingga bisa membuat tumpeng durian raksasa," kata Hasan, Rabu (6/3/2024).

"Kalau tempat kita banyak tempe, kenapa tidak bisa membuat tumpeng tempe raksasa. Sekaligus menjadi sebuah ikon desa kita, bahwa desa penghasil tempe di Desa Sedenganmijen," tambahnya.

Dibuat gotong-royong

Hasan mengungkapkan, sejumlah masyarakat desanya secara bersama-sama membuat gunungan tempe tersebut selama lima jam, yakni dimulai sejak pukul 17.00 WIB sampai 23.00 WIB.

"Tingginya dulu 12 meter, karena diletakan di lapangan. Tapi sekarang diletakan di balai desa yang dekat dengan kabel listrik sehingga harus kita kurangi dua meter, sekarang jadi 10 meter," jelasnya.

Hasan berharap, adanya tumpeng tempe raksasa tersebut bisa semakin memperkenalkan desanya ke masyarakat luas, sehingga mampu mendatangkan wisatawan.

"Masing-masing perajin tempe menghibahkan yang ditujukan ke para leluhurnya agar mendapat keberkahan. Total 75 kuintal kedelai," ujarnya.

Penjelasan sejarawan

Sementara itu, Sejarawan sekaligus Dosen Kajian Panji (Antropologi Sastra) Universitas PGRI Adi Buana Eko Henri Nurcahyo menjelaskan perihal ruwah.

Ruwah merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang memiliki arti, arwah atau roh manusia yang sudah meninggal.

"Ruwah desa dimaksudkan agar kita menghormati ruh atau arwah manusia yang sudah meninggal dunia. Karena meski manusia sudah mati, tetapi rohnya masih ada," kata Henri, Rabu (6/3/2024).

"Kita perlu memuliakan roh para leluhur, kakek buyut, orangtua kita yang sudah meninggal dunia, atau roh para sesepuh, para tokoh, para pahlawan yang telah berjasa pada desa dan negeri ini," tambahnya.

Menurut dia ruwah desa bertujuan untuk melakukan perawatan secara fisik dan nonfisik.

Henri menjelaskan, hubungan antara ruwatan dengan bulan Syaban (sebelum Ramadhan) ada dalam hal berbagi. Masyarakat Jawa biasa melakukan sedekah dengan cara membagikan makanan.

"Sedekah dengan membagikan makanan ke tetangga maupun saudara. Sedangkan kepada yang sudah meninggal dunia, kita berbagi dalam bentuk doa," ujarnya.

Henri berharap, agar masyarakat terus melanjutkan tradisi sedekah bumi tersebut. Sebab, manusia sudah seharusnya saling berbagi kepada siapa pun.

"Ruwah desa adalah tradisi yang harus kita lestarikan, karena itulah saatnya kita merawat desa, meruwat desa, berbagi kepada sesama, dan juga kepada alam semesta. Kita juga perlu menghormati alam dan lingkungan kita sehari-hari dengan cara merawat dan meruwat. Sebagaimana Islam dimaknai sebagai agama yang Rahmatan lil’alamin," tutupnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/06/195535278/menengok-tradisi-sedekah-bumi-dan-gunungan-tempe-untuk-sambut-ramadhan-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke