Salin Artikel

Saat Rumah Tak Lagi Aman untuk Sang Anak...

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Hendro Sukmono mengatakan korban yang kini berusia 13 tahun mengalami pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung berinisial ME, kakak kandung dan dua pamannya yang berinisial I dan MR.

“Sejak tahun 2020, korban mengatakan mengalami pencabulan dari para pelaku, berawal dari kakak kandung, yang mana saat ia berusia 16 tahun, menyetubuhi korban saat kelas 3 SD,” kata Hendro dalam konferensi pers pada Senin (22/01).

Kakak kandung korban tidak ditampilkan dalam konferensi pers penetapan tersangka karena masih dibawah umur.

Catatan KPAI menunjukkan sebanyak 3.000 kasus kekerasan terjadi pada anak selama periode 2023. Dari 3.000 kasus tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak paling dominan terjadi.

Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, mengatakan bahwa anggota keluarga, seperti ayah kandung ataupun saudara, merupakan pelaku pelanggaran hak anak tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Pelanggaran tersebut tidak hanya terbatas pada kekerasan seksual, namun termasuk di dalamnya.

“Tentu ini menjadi alarm yang sudah berbunyi sangat nyaring, dan kami sudah memberikan langkah-langkah rekomendasi serta koordinasi aktif dengan para pemangku kepentingan,” ujar Ai kepada BBC News Indonesia.

"Biasanya normal, enggak ada kecurigaan. Kalau tahu, bisa saya tegur. Enggak tahu [kejadian], kalau di luar kamar bisa saya pantau," kata SN pada Sabtu (20/1).

Ia mengatakan bahwa ibu dari korban sempat dibawa ke rumah sakit karena mengidap stroke. Korban pindah dari rumah susun ke rumahnya di Kecamatan Tegalsari, Surabaya untuk merawat ibunya yang sakit.

Kemudian, ayah korban yang juga pelaku diminta menemui istri dan anaknya di rumah susun Kecamatan Kenjeran. Saat itu, SN baru mengetahui tentang kasus itu.

"E dipanggil ke rusun, disidang, ditanya, saya juga kaget kok bisa terjadi. Kakak saya juga dipanggil ke rusun, terus dia mengaku dilaporkan ke polisi," ujarnya.

SN mengaku terkejut saat mendengar apa yang terjadi pada keponakannya di rumahnya sendiri.

"Saya pastinya marah, ingat, kita punya anak perempuan. Orang tua harusnya melindungi dan mengayomi. Hewan pun enggak akan tega. Kalau seperti itu kan lebih rendah dari binatang," katanya.

Nanik Suliani, Ketua RT setempat, mengaku tidak menyangka pula bahwa tetangganya sendiri bisa melakukan tindakan semacam itu terhadap seorang anak, lagipula anaknya sendiri.

Ia baru mengetahui kejadian itu setelah polisi datang dan membawa pergi keempat tersangka dari rumah mereka.

“Enggak ada [aneh-aneh], biasa. Anaknya yang korban biasa, enggak ada apa-apa. Enggak ribut, enggak apa, enggak ada yang tahu,.

“Hubungan sama tetangga juga baik-baik saja. Kakaknya juga ya biasa,” kata Nanik kepada wartawan Andik di Surabaya yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Senin (22/01).

Ia mengatakan warga setempat yang mengenal keluarga itu merasa heran dan benar-benar terkejut.

”Kemarin aja kerja bakti, ada semuanya [keluarga korban]. Ikut masih. Benar-benar enggak ada masalah, tanya orang-orang,” ungkapnya.

Namun, kasus itu baru terungkap setelah pihak keluarga eksternalnya melapor kepada polisi pada 5 Januari 2024.

“Sebenarnya [korban] tinggal dalam keluarga, ayah, ibu, kakak dan dengan paman-paman. Namun demikian, anak ini telah mengalami perlakuan pelecehan seksual sejak kelas 3 SD atau 9 tahun,“ kata Hendro kepada awak media.

Ia menjelaskan bahwa insiden terakhir terjadi pada Januari 2024, ketika kakak korban dalam keadaan mabuk ingin menyetubuhi korban. Namun, korban sedang menstuasi sehingga yang bersangkutan melakukan tindakan pelecehan lain.

“Atas hal tersebut, kemudian pihak eksternal keluarga melaporkan peristiwa ini kepada kami pada tanggal 5 Januari, yang mana laporan awalnya adalah pencabulan,“ ungkap Hendro.

Namun, setelah pemeriksaan kesehatan menunjukkan luka atau lecet pada kemaluan korban, kasus berubah menjadi pemerkosaan dan polisi melakukan penangkapan paksa terhadap empat orang tersangka lima hari setelah keluarga melapor.

“Para tersangka kami kenakan kenakan Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak,“ katanya.

Saat ini, sambungnya, korban sedang menerima pendampingan dari Dinas Sosial untuk proses pemulihan kondisi psikis korban dan keamanan.

“Ciri budaya kota sering abai terhadap kondisi yang ada, dan lunturnya keakraban dan solidaritas. Keluarga terdekat yang seharusnya menjaga anggota keluarga malah menjadi predator anak,” kata Henny.

Ia mengatakan ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya kasus pencabulan anak oleh keluarganya sendiri, di antaranya adalah masalah keluarga, kekerasan di dalam keluarga dan minimnya pengawasan.

“Lingkungan tempat anak itu mungkin memiliki ketidakseimbangan kekuasaan dan kurangnya kesadaran akan hak anak, yang dapat memicu kejadian semacam itu,” jelasnya.

Oleh karena itu, Henny merasa komunitas dan LSM perlu bekerja sama untuk menyediakan edukasi publik yang dapat membantu mencegah kejadian serupa dengan meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan kepada korban

Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, mengatakan sebetulnya Surabaya sudah memiliki perangkat dan perlindungan anak yang cukup memadai dan dijalankan oleh pemerintah. Meski begitu, ia mengatakan kasus seperti ini terus terulang.

“Keberulangan ini yang harus menjadi PR kita semua. Inses ini sangat beragam, sangat kecil-kecil dan teknis penyebabnya. Kalau misalnya juga, orang tua yang mungkin bekerja di luar rumah dengan waktu lama,” kata Ai kepada BBC News Indonesia.

Ia memperkirakan ketika ibu korban sedang pergi bekerja atau saat ia dirawat di rumah sakit karena stroke, itulah ketika ayah, kakak dan paman-paman korban mengambil kesempatan.

“Ini justru menjadi mulut buaya atau mulut singa, dan bahkan terjadi persoalan yang mempengaruhi seluruh hidup atau kehidupan seumur hidup anak ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan persoalan yang mungkin dihadapi internal keluarga justru melatari terjadinya inses. Sayangnya, dalam hal ini anak tidak mendapatkan perlindungan yang ia butuhkan sehingga ia menjadi korban.

“Terjadi kerentanan terhadap anaknya sesungguhnya lebih mendapatkan perlindungan karena dia sedang menghadapi orang tua. Anak mana yang melihat orang tuanya sakit lalu dalam kondisi baik-baik saja. Ini malah sebaliknya,” katanya.

Psikolog dari Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Nurul Hartini, mengatakan keluarga memiliki peran kunci dalam membesarkan anak dengan memberikan perlindungan, pendidikan dan keamanan yang dapat membantu pertumbuhan anak yang optimal.

“Kalau kemudian di keluarga sendiri, orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan, bahkan dia melakukan sebuah tindak kejahatan, kalau boleh dikatakan artinya mereka yang melakukan sudah tidak dapat lagi membedakan antara yang benar dan salah,” katanya.

Ia mengatakan inses menjadi tanda bahwa timbul “krisis moral” di dalam keluarga tersebut. Krisis moral terjadi ketika orang tua atau anggota keluarga lainnya justru tidak bisa membedakan antara apa yang baik dan apa yang melanggar batas.

“Itu pastinya akan terjadi sebuah relasi yang boleh dikatakan relasi yang salah. Sangat mungkin relasi yang salah itu terjadi. Antar ayah dan anak, antara anak dan sesama saudara. Antara anak dan kakek misalnya atau anak dan paman,” kata Nurul yang sekaligus adalah Anggota Kolegium Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia.

Ia khawatir jika korban tidak memperoleh perlindungan dan pendampingan yang cukup usai kasus itu mencuat, korban akan mengalami dampak psikologis yang sulit berat.

“Kalau kemudian dia tetap bertemu dengan situasi-situasi negatif. Dihadapkan pada suatu kondisi stresor. Dia tidak diangkat ke dalam kehidupan yang baru, sangat mungkin anak akan mengalami sebuah kondisi trauma psikologis,” ujarnya.

“Jadi rekomendasi kami kepada pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, kemudian juga kepolisian. Kepada pihak-pihak yang membuka layanan konseling keluarga, Kementerian Agama, itu terus kami lakukan,” kata Ai.

Ia mengatakan saat ini, perlindungan anak harus diprioritaskan, khususnya dalam penanganan kasus tersebut oleh aparat hukum. Korban harus dapat merasa aman hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis.

“Berarti harus ada ruang-ruang yang diselesaikan dulu individunya, pemulihannya, psikologisnya. Supaya dia nanti punya waktu untuk bercerita, menyampaikan apa yang dia alami,” kata Ai.

Oleh karena itu, ia mendorong agar pendampingan korban terus dilakukan agar korban dapat melanjutkan kehidupan barunya.

“Nanti saya akan koordinasi dengan rekan-rekan Surabaya, bahwa yang paling utama adalah korban harus pulih, harus kembali sehat. Bahkan secara pemeriksaan kesehatan, karena dikhawatirkan ada persoalan-persoalan reproduksi,” katanya

Ketua RT di Kecamatan Tegalsari, Nanik Suliani, mengatakan turut prihatin terhadap apa yang terjadi pada korban. Ia mengatakan dirinya selalu menganjurkan agar para warga setempat saling membantu dan menjaga satu sama lain, terutama bagi anak dalam keluarga.

“Kita tetap, warga saya harus waspada. Terhadap anak, terhadap misalkan satu, kejadian contoh-contoh seperti itu. Kalau bisa, selalu waspada.”

https://surabaya.kompas.com/read/2024/01/27/164600978/saat-rumah-tak-lagi-aman-untuk-sang-anak-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke